BAB 20 : tangis bayi

2 0 0
                                    

"Apa kau tidak ingin melihat kakakmu sebentar saja?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa kau tidak ingin melihat kakakmu sebentar saja?"

Nalu menggeleng kuat-kuat demi apa dia harus melihat kakaknya itu yang jelas-jelas ia sangat benci padanya.

Tidak ada untungnya menengok wanita iblis itu, Nalu memilih mengabaikan pertanyaan ayahnya.

"Nalu, cobalah lihat dulu kakakmu. Jangan membuat hubungan saudara kalian semakin renggang."

"Untuk apa? Apa dia akan sembuh jika Nalu pergi melihatnya?"

Nalu tidak ingin meluapkan amarahnya didepan ayahnya karena yang sekarang ia miliki tinggal ayahnya saja, lupakan tentang wanita iblis itu.

"Nak, turuti permintaan ayah, ini juga untuk kebaikanmu."

"Sudahlah Ayah' tidak perlu berbohong, katakan saja ini demi perempuan itu. Tapi baiklah aku akan melihatnya hanya demi Ayah."

Dengan perasaan dongkolnya ia terpaksa harus menuruti perintah ayahnya dan karena itu pula ia harus merelakan terlambat masuk kerja. Entah bagaimana isi hati Nalu sekarang.

Alasan itu yang membuat Nalu enggan tinggal di rumahnya dan memilih tinggal bersama Biru. Namun, karena ada panggilan kerja ia terpaksa pulang.

Langkahnya begitu tak santai saat menuju kamar kakaknya. Begitu juga saat membuka pintu tak peduli dengan kakaknya yang sedang sakit, Nalu membuka pintu kamar tersebut dengan kasar.

"Apa malaikat maut sudah menari disekitar mu?" sungguh kesopanan tidak akan ia terapkan pada wanita itu. Tidak peduli bagaimana tanggapan kakaknya intinya hatinya begitu kesal.

Luna yang terbaring lemas di atas kasurnya hanya melirik sesaat. Tubuhnya belum siap untuk diajak beradu argumentasi. Dan adiknya itu tampangnya saja seperti wanita tapi jiwanya bak kesatria dalam cerita fantasi.

"Kenapa diam saja? Apa mulutmu habis dijahit? Dan, dimana suami paksaanmu itu?"

"Bisakah volume suaramu sedikit diturunkan? Jantungku tidak begitu sehat untuk mendengar suaramu," tegurnya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

"Kenapa begitu ingin tau?" suara lemahnya sangat kentara jika ia memaksa untuk berbicara dan hal itu mengundang senyum jahat dari Nalu.

Kesempatan menyiksa sudah berada didepan mata dan Nalu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan mengajaknya terus berbicara bisa saja membuat kakaknya itu mati kehabisan tenaga. Biarlah ia menjadi pembunuh asal rasa sakitnya bisa terbalas.

Nalu melihat sekeliling ia tak mendapati bayi dari kakaknya itu. "Kemana anak itu?" tanyanya.

Luna diam saja.

"Sepertinya kau benar-benar sakit."

Luna memandangi adiknya yang sedang mengelilingi kamarnya. "Ternyata kau tidak tinggal sekamar dengan suamimu, ya. Kasihan sekali." Ada nada bahagia dalam kalimatnya mengetahui fakta bahwa kedua manusia itu hanya menikah saja tanpa ada bab romantis yang terselip.

Melautkan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang