"Ibu makan lagi, ya, Ibu baru makan dua sendok." Ingin rasanya ia menyerah untuk menyuapi ibunya. Tapi, Biru mana tega membiarkan ibunya kelaparan.
Biru menyodorkan sendok tepat didepan mulut ibunya. Namun, bu Salwa tak kunjung membuka mulutnya.
Matanya berkaca-kaca. Ia sungguh tidak menyangka hari seperti ini akan tiba, ia belum siap, ia belum mempersiapkan hatinya. Ibunya sakit dan Biru tidak tahu harus berbuat apa. Untunglah ada tetangga yang bersimpati tinggi padanya. Biru mengucapkan banyak terima kasih, jika tidak ada gadis itu, ia tak tahu harus memberi makan apa ibunya.
Namanya Fitri seorang yatim-piatu dan tinggal bersama neneknya. Usia fitri berada 2 tahun dibawah Biru, namun dari segi kemampuan memasak, Fitri lah yang menang.
Biru mengingat. Gadis itu masih ada dirumahnya. Biru menyudahi aksi menyuapi ibunya ia keluar dari kamar dan mencari keberadaan fitri.
"Kebetulan kita ketemu disini," ujar Fitri dari arah ruang tamu. "Aku hendak pulang ke rumah, nenekku belum makan sejak tadi."
"Mau pulang sekarang? Kau bawa sepeda ya? Kalau tidak, aku bisa antar kau pulang."
"Tidak perlu, berjalan kaki saja sudah cukup. Rumah kita, kan, tidak begitu jauh," tolak Fitri.
"Yasudah kalau begitu. Sekali lagi, terima kasih, ya."
Fitri tersenyum. "Tidak perlu begitu, jika bukan tetangga yang membantu, siapa lagi? Yasudah lah, aku pulang dulu. Kalau pekerjaanku sudah beres di rumah. Nanti aku kesini lagi."
Betapa baiknya gadis berkulit hitam manis itu. Biru sampai tak tahu harus memberikan apa atas kebaikan Fitri.
"Iya, iya, pulang sana! Nenekmu menunggu."
"Iya, dan Biru—"
"Sudah-sudah, aku sudah tau kau mau bilang apa. Pulanglah sana!" potong Biru cepat. Ia sudah hapal Fitri akan memberikannya semangat.
Biru tidak kembali ke kamar ibunya setelah kepulangan Fitri. Ia memilih ke kamarnya sendiri. Tubuhnya butuh istirahat sebentar, sejak kepergian bapaknya, tidurnya selalu tak nyenyak. Semua karena ibunya yang sakit. Biru harus ekstra siaga, bukan apa, Biru takut ibunya juga pergi meninggalkan dirinya. Walaupun agaknya mustahil, tapi ketakutan selalu menghantui Biru.
Biru merebahkan tubuhnya diatas kasur, tidak begitu empuk. Namun, mampu memberikan kenyamanan pada raga yang habis-habisan dihajar oleh rasa lelah.
Matanya terpejam rapat. Kesadarannya mulai mengawang-awang, sebelum akhirnya ia mengarungi abstraknya mimpi.
Biru tertidur untuk beberapa saat. Ditengah tidurnya, air matanya menetes. Entah apa yang ia mimpikan.
Terbangun dari tidurnya. Biru lekas menuju kamar ibunya.
"Fitri? Bukannya kau tadi pulang?" Biru bertanya heran.
"Kan sudah kubilang, kalau pekerjaanku di rumah usai, aku kesini." Fitri berucap pelan sembari mengelap lengan bu Salwa. "Tadi, aku mau bangunkan kau, tapi nampaknya begitu lelah, jadi ku biarkan saja."
"Apa aku tidur selama itu, ya?" gumamnya yang masih terdengar ditelinga Fitri.
"Emm... Biru, apa kau tidak mempunyai keluarga selain Ibu Bapakmu?" Fitri sedikit ragu dalam pertanyaannya.
"Ada, ada paman dan bibi. Tapi, mereka sedang tidak ada disini. Kebetulan mereka sedang berada ditempat jauh, dan tidak bisa pulang saat kabar ini terdengar ditelinga mereka."
Fitri membisu. Tak mengucapkan sepatah kata lagi, ia kembali fokus pada bu Salwa.
—•—
"Woah... ternyata kau pandai memasak ya." Biru menatap takjub masakan didepan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melautkan Rasa
Ficção Geral-Ini tentang komunikasi dua sisi antara indahnya laut dan suramnya hati- Potongan cerita : Ia terus memandangi bunga tersebut yang semakin menjauh dari dirinya. Biru menyudahi aksi pelepasan bunganya. Ia memutar tubuhnya untuk kembali ke bibir panta...