BAB 8 : tertawa untuk sesaat

16 7 0
                                    

"Teruslah mengayuh, sampai kau dapat mencapai titik kebahagiaan yang sebenarnya."

"Kenapa kau mengumpulkan bunga-bunga itu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa kau mengumpulkan bunga-bunga itu?"

"Aku tidak mengumpulkannya, tapi bunganya sendiri yang terdampar kemari, jadi sekalian saja aku satukan mereka. Mungkin, mereka saudara. Warna bunganya sama semua."

Sepasang kekasih itu tengah berlibur untuk menghilangkan penat dunia. Mereka sengaja memilih pantai, yang katanya memiliki udara sejuk. Sangat cocok bagi mereka.

"Al, kira-kira siapa yang tengah bersedih di laut sana?" perempuan itu bertanya sambil menancapkan bunga-bunga tadi ke pasir, yang sebagiannya sudah membusuk.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Lihat bunganya, bunga tulip putih. Apa kau tidak tau artinya?" Si pria menggeleng singkat. Ia tak begitu memahami makna dari setiap jenis dan warna bunga. "Dan lagi, siapa yang telah membuang-buang bunga mahal ini-"

"Mahal?"

"Ah, sudahlah. Tidak usah pedulikan, kita kesini untuk menghilangkan pusing."

"Hemm." Si pria hanya berdehem. Ia tak begitu tahu jalan pikiran wanita pendek ini.

Si wanita dengan riangnya bermain air, sementara si pria hanya diam memperhatikan. Pikirannya berkelana jauh masih memikirkan tentang bunga tersebut. Ia mengingat si gadis ceria yang begitu menyukai bunga, namun sayangnya terdengar kabar si gadis telah meninggal.

-•-

"Bapak tidak ada, ibu juga pergi, Ali belum pulang. Ternyata Biru punya tiga pilihan, tapi untuk pergi bersama ibu, sepertinya tidak bisa. Dan kalau menyusul Ali, rasanya mustahil. Apa Biru ikut bapak saja ya?" monolognya ditepi pantai. "Ah, Biru tidak segila itu untuk bunuh diri."

Angin sore semakin membuatnya betah berada di pantai. Ia tak lagi memikirkan ibunya yang khawatir menunggunya di rumah. Tak lagi takut terkena omelan bapaknya karena pulang terlambat. Namun, disaat-saat seperti itu Biru kembali mengingat kelengkapan keluarganya.

Mengingat saat ia berada diambang keputusasaan karena Ali, dan orang tuanya lah yang memberinya semangat. Orang tuanya yang selalu berada di sampingnya. Kedua orang tuanya itu, selalu setia menemani meski, anaknya sudah berada dibatas kehilangan akal sehatnya.

"Hah, andai kalian nyata lebih lama lagi." Biru mengusap pipinya menghilangkan bekas air mata disana. "Kalian memang nyata, tapi itu dulu, sebelum kalian pergi meninggalkan Biru seorang diri. Sekarang, boleh Biru anggap kalian cuma khayalan Biru, kan?" ia bertanya pada angin. Matanya memandang lurus ke depan. Ia menangis dengan ekspresi bahagia diwajahnya, lebih tepatnya dibuat-buat bahagia.

Melautkan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang