Gadis gila mana yang mengunjungi pantai diatas jam 9 malam? Ya, siapa lagi jika bukan Venaya Abiru si gadis yang sangat sulit tertebak.
Rindunya pada Ali jauh lebih mengerikan daripada gelapnya malam di tepi pantai.
"Maaf ya, hari ini Biru tidak membawa bunga untuk Ali."
Ia menelusuri bibir pantai tanpa penerangan sama sekali. Cuaca begitu dingin dan untungnya ia memakai jaket tebal dipadukan dengan celana pendek selutut. Memakai celana pendek adalah kesalahan, namun juga keberuntungan. Kesalahannya karena betisnya menjadi dingin tidak terbalut kain dan keberuntungannya ombak kecil dapat bebas mengenai kakinya tanpa harus takut basah.
"Ali, cepatlah pulang, Biru rasa sebentar lagi kewarasan Biru akan hilang. Jadi, sebelum itu terjadi Ali harus pulang."
Pikirannya mengudara sejalan dengan netra jernihnya bergerak menatap bulan yang setengahnya tertutup awan malam.
"Banyak hal yang terjadi, Ali. Banyak sekali dan sebenernya Biru pernah ingin menyerah menunggu Ali, namun kembali lagi rasa rindu tidak bisa dikelabui oleh cara apapun."
Netranya berhenti menatap langit ia kembali menatap hamparan air didepan sana.
"Aku sedikit heran." Ia menunduk menatap ombak kecil menerjang kakinya. "Sebenarnya seperti apa sifat laut itu? Ia senang membuat orang sedih, namun juga dapat membuat hati bahagia dengan keindahannya. Bagaimana ya rasanya terombang-ambing ditengah lautan?" ujarnya Kembali menatap lurus ke depan.
Kembali ingat ya, tidak ada pikiran Biru untuk bunuh diri ia hanya sedikit penasaran.
"Ali kau tau? Aku pernah merasa menjadi lakara di tengah andala. Bukan tubuhku tapi jiwaku yang melanglang buana ditengah ganasnya tarian ombak lautan. Keputusasaan pernah hinggap di sini," tuturnya menyentuh tepat di hatinya. "Bagiku, hari itu adalah hari terakhir untuk bisa tersenyum tapi nyatanya ada saja orang mampu membuat bibir ini menorehkan senyum. Aku ingin berterima kasih pada mereka, Ali. Karena mereka hidupku tidak lagi suram.
Aku berusaha menunggu dengan sehat. Berusaha menstabilkan pikiran yang selalu penuh akan bisikan kegilaan. Dan yah, aku berhasil Ali, aku berhasil mengalahkan ketidakwarasan itu. Aku bisa melawannya haha..." Suara tawa yang terdengar hambar bagi siapa saja yang mendengarnya. "Sekarang, giliran mu melawan apapun yang menghalangi mu untuk datang padaku."
Biru menjauhkan diri saat merasakan ada ombak besar yang akan datang dan benar saja, tak lama ombak setinggi perut pria dewasa datang menerjang bibir pantai.
"Untung saja telinga ku peka, jika tidak habislah pakaianku basah semua."
Biru rasa udara semakin dingin, jadi ia memilih untuk pulang juga malam semakin larut tidak memungkinkannya untuk bisa berlama-lama di pantai.
"Harusnya tadi aku datang lebih awal," monolognya menyeret sepedanya menjauhi area pantai.
—O—
"Apa itu?" gumamnya saat melihat sesuatu didepan pintu rumahnya.
Ia mengayuh cepat sepedanya agar segera tiba di rumah karena rasa penasarannya sangat tinggi. Pikirannya kembali mengingat kantong kresek berisi makanan yang diberikan oleh orang misterius sebelumnya.
Biru menyimpan asal sepedanya lalu menghampiri sebuah keranjang yang tentunya ia sudah tahu itu tidaklah berisi makanan. Karena didalam keranjang itu berisi bayi mungil yang entah siapa menaruh sembarangan anaknya.
"Eh, anak siapa ya?" Biru menatap sekeliling mana tahu ada orang yang sedang butuh bantuan atau urusan yang lainnya. Setelah beberapa detik melihat-lihat sekitar juga tidak ragu mengecek sekitaran rumah, dan hasilnya Biru tidak menemukan siapapun entah makhluk atau manusia, sama sekali tidak ada suasana sekitar sangat sepi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melautkan Rasa
General Fiction-Ini tentang komunikasi dua sisi antara indahnya laut dan suramnya hati- Potongan cerita : Ia terus memandangi bunga tersebut yang semakin menjauh dari dirinya. Biru menyudahi aksi pelepasan bunganya. Ia memutar tubuhnya untuk kembali ke bibir panta...