BAB 16 : gorengan berbuah tamparan

2 1 0
                                    

"Tidak diberi peringatan pun aku tidak akan ke sana, jadi kau tenang saja kakakku." Biru berujar dengan memberi sedikit penekanan pada saat menyebut kakaknya.

Sejak awal bertemu ia sudah tak menyukai lelaki dihadapannya ini terlihat angkuh menurut Biru. Untuk apa bersikap baik pada orang yang sangat jelas ingin dikasari dalam bertutur kata.

"Aku tau itu hanya sekedar omongan belaka. Jelas-jelas kau sangat ingin tinggal bersama ibuku, kan?"

Biru memandang jengah. "Apa belum cukup kata-kata ku itu? Memangnya siapa kau ini? Ibu kita memang sama tapi aku tetaplah anak tunggal dari bu Salwa dan pak Tama di desa ini. Jika sudah tidak ada urusan kau boleh pergi kak Pandu terhormat." Biru berdiri berniat mengusir Pandu secara halus.

"Ternyata ibuku gagal mendidik gadis pungut, sungguh tidak tau diri," hinanya.

Kata-kata Pandu menyakitkan untuk sebuah fakta tentang dirinya si anak pungut. Tapi Biru berusaha untuk tidak menghiraukan cemoohan tersebut.

Dipandanginya Pandu yang masih duduk di kursi. "Sepertinya kau sangat betah berlama-lama di rumahku kak Pandu."

"Tenang saja, aku akan segera pergi anak pungut." Pandu meletakkan uang selebaran di atas meja. "Uang titipan dari ibuku." Setelahnya Pandu pergi meninggalkan Biru dengan beberapa pertanyaan menari di kepalanya.

"Aneh sekali dia," monolognya.

Biru meraih uang di meja tadi untuk ia bawa ke kamarnya dimana ada Nalu yang sedang tertidur pulas. Jika dihitung uang tersebut berjumlah 1.000.000 lumayan untuk Biru yang memang membutuhkan uang. Siapa bilang dia tidak akan menggunakan uang tersebut, justru hatinya bersorak gembira dan lagi bukan Pandu yang memberikannya melainkan ibunya sendiri.

"Haishh...kenapa kepalaku langsung terpikir oleh gorengan, apa sebaiknya ku ajak saja ya Nalu untuk keluar nanti. Okelah, mumpung sudah lama tidak makan gorengan sekalian membeli perlengkapan dapur lagi."

"Biru, apa sudah pagi?" ujarnya masih dengan suasana mengantuknya.

"Pagi apanya, ini sudah sore sebaiknya kau bangun lalu mandi, nanti kita keluar untuk belanja."

"Kemana?"

"Mau ikut atau tidak?" Biru memutar tubuhnya menghadap Nalu lalu berkacak pinggang.

"Ikut."

"Yasudah mandi sana," titahnya.

Biru kemudian pergi ke dapur untuk melihat barang-barang apa saja yang harus ia beli. "Lumayan banyak ternyata yang harus dibeli."

Decitan pintu terdengar membuat Biru menoleh ke sumber suara di sana Nalu masih mengenakan pakaiannya datang menghampiri Biru. Diperlihatkannya sabun  yang ia bawa ditangannya.

"Kau sudah mandi?" tanya Biru.

"Mau mandi bagaimana? Sabun saja sudah setipis isi dompetku, ini mana ada busanya." Ia mengangkat sabun tipis tepat didepan wajah Biru.

"Yasudah tidak usah mandi, ayo kita keluar sekarang saja."

"Mana bisa begitu, badanku bau ya, kalau kita pas-pasan dengan cowok bagaimana? Kan malu, Biru."

Biru menutup kulkas yang hampir ia lupa tutup karena Nalu. "Kau di rumah saja kalau begitu, biar aku yang pergi sendiri," putusnya.

"Tidak-tidak, aku akan tetap ikut."

"Oke."

Keduanya sudah bersiap-siap untuk pergi. Setelah mengunci pintu rumah Nalu ikut naik ke boncengan sepeda Biru. Untunglah  badan mereka berdua kurus, jika tidak entah mengeluh seperti apa sepeda itu nantinya.

Melautkan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang