Langit cerah secerah senyum Biru yang menyambut datangnya pelanggan. Karena hari ini, belum ada pelanggan terdekat yang memesan bunga secara online, jadilah Biru menggantikan posisi salah satu temannya, yang sedang mengantar bunga ketempat yang jauh.
"Selamat datang." Biru menyatukan kedua tangannya didepan dada seraya sedikit membungkukkan kepalanya. "Kafi mau beli bunga?" benar sekali, yang baru saja masuk adalah Kafi.
"Tidak, aku ingin bertemu bibiku."
"Bibi?" Biru bertanya heran.
"Bibiku pemilik tokoh ini, aku sedang ada urusan yang ingin ku beritahu padanya."
Kebetulan yang mencengangkan. Biru kembali ingin membuka mulut, namun urung saat sang pemilik toko bunga melambaikan tangannya ke arah Kafi. Kafi menyambut, ia melangkah ke tempat bibinya berdiri, namun sebelum itu ia menatap Biru.
"Kau cocok memakai seragam toko itu." Setelahnya ia benar-benar pergi menghampiri bibinya.
Biru menyunggingkan senyum sekilas sebagai respon. Ia tak melayang dengan pujian Kafi, berbeda jika Ali yang memujinya, ia akan jingkrak-jingkrak kesenangan, tapi cuma didalam hati saja. Tidak mungkin ia menjadi cegil didepan pujaan hatinya, kan harus jaga image.
Biru memandangi celemek yang ia kenakan. Celemeknya memang cantik dengan motif bunga-bunga disana, sesuai apa yang tokonya jual. Biru sedikit heran, karena yang ia tahu celemek hanya digunakan di dapur.
"Tapi aku pernah melihat orang melukis menggunakan celemek," gumamnya. "Sudahlah, tidak penting." Biru lanjut mengerjakan pekerjaan yang lain, karena tak ada tanda-tanda pelanggan akan datang.
Sementara di ruangan bibinya, Kafi mulai menjelaskan akan kedatangannya ke toko bunga tersebut.
"Jika kau butuh bunga sebanyak itu, apa boleh buat, kau harus menunggu. Karena bibi baru ingin memesan, di toko sedang tak ada stok."
"Baguslah kalau stoknya habis—"
Bibinya memotong cepat. "Sudah kuduga kau akan bereaksi begitu. Aku tau kau tidak menyukainya, dan bisa ku tebak? Pasti ibumu yang menyuruh untuk melakukan ini, kan?"
Kafi mengangguk. Sedari tadi ia malas-malasan melangkahkan kakinya, ia begitu malas menuruti perintah ibunya. Namun saat bertemu Biru di pintu depan, entah dari mana semangatnya kembali.
"Ya, bibi. Hari ini ulang tahunnya dan ibu ingin merayakan dengan bunga yang banyak." Kafi mendengus, "tapi syukurlah bunganya tidak ada, lebih baik lagi, bibi tidak usah menyediakan stok dulu.
"Aku yakin ibumu tidak akan menyerah, dia pasti akan menyuruhmu mencari ditempat lain."
Kafi memasang wajah kecewa yang sedetik berikutnya berubah. "Aku tinggal mengatakan stoknya habis." Kafi tersenyum licik.
Bibinya menggelengkan kepalanya. "Terserah kau saja, bibi tidak ikut andil jika ibumu marah."
"Ya,ya, bibi tutup mulut saja dan katakan stok habis jika ibu menelepon bibi." Kafi menggeser mundur kursinya lalu beranjak dari sana. "Baiklah bibi, aku pergi dulu ingin bertemu Biru."
"Biru? Ada hubungan apa kau dengannya?"
Langkah Kafi terhenti. "Calon istri, doakan saja, ya, bi."
"Tapi kau, kan—" ia tak melanjutkan kalimatnya, dilihatnya Kafi sudah menghilang dibalik pintu ruangannya.
Langkah kakinya terkesan santai saat menghampiri Biru dipojok ruangan.
"Sudah selesai?" tanya Biru tanpa menoleh dari bunga-bunga yang sedang ia tata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melautkan Rasa
Художественная проза-Ini tentang komunikasi dua sisi antara indahnya laut dan suramnya hati- Potongan cerita : Ia terus memandangi bunga tersebut yang semakin menjauh dari dirinya. Biru menyudahi aksi pelepasan bunganya. Ia memutar tubuhnya untuk kembali ke bibir panta...