BAB 12 : sakit tanpa ibu

10 4 0
                                    

"Apa masih banyak yang belum selesai?" tanya si pemilik toko.

"Tersisa 5 lagi, bu."

"Yasudah lanjutkan, setelah selesai kalian langsung boleh pulang, soal bersih-bersih kita lanjutkan besok saja karena ini sudah sangat malam. Tidak baik gadis-gadis pulang sangat larut."

"Siap!"

Semuanya kembali sibuk menata souvernir bunga pesanan pelanggan. Ada yang mulai memasukkan ke kardus packing, ada juga yang masih dalam proses menata. Mereka saling membantu satu sama lain. Alasannya hanya satu, mereka ingin cepat-cepat pulang agar bisa istirahat. Seharian duduk membuat  mereka merasakan letih sebadan-badan terutama pada bagian punggung yang begitu ngilu.

Dua jam berlalu. Semuanya telah rampung, mereka satu-persatu mulai pamit untuk pulang dan Biru pulang paling akhir.

Ia melihat teman-temannya perlahan menjauh dengan kendaraan mereka masing-masing. Biru menaiki sepedanya perlahan ia juga mulai meninggalkan pekarangan toko tempatnya bekerja. Dengan dibantu penerangan dari ponselnya, Biru mulai mengayuh sepedanya lebih cepat.

"Apa aku pakai motor bapak saja, ya? monolognya ditengah perjalanan pulang. "Tapi kau kan, tidak bisa mengendarai motor." Biru tertawa geli dengan dirinya, ia terpikir meminta bantuan pada Kafi untuk mengajarinya.

Jarak rumahnya memang sedikit jauh dari tempat ia bekerja. Namun, meski begitu Biru tetap semangat untuk bekerja.

Jalanan sangat sepi sepanjang Biru mengayuh sepedanya, tak ada kendaraan lain yang berlalu lalang. Mengingat sudah pertengahan malam semua pengendara tentunya mencari tempat untuk istirahat.

"Ternyata pulang larut malam rasanya begini," monolognya. Biru memelankan sepedanya lalu berbelok masuk ke pekarangan rumahnya. Sangat gelap, lampu terasnya belum menyala karena ia memang belum pernah pulang ke rumah.

Biru turun kemudian menuntun sepedanya masuk kedalam rumah. Siapa yang ruang tamunya beralih fungsi jadi garasi? Kalau ada berarti kalian sama seperti Biru.

Biru memarkir sepedanya tepat di samping motor almarhum bapaknya. Jika ditanya kemana semua kursi dan meja diruang tamu tersebut, tentu jawabannya tetap disana. Ruang tamu rumah Biru cukup luas masih bisa menampung dua kendaraan roda dua tersebut.

Biru menyalakan semua lampu didalam rumahnya kemudian masuk kedalam kamar. Kamarnya terang seketika saat ia menekan saklar lampu.

Biru melempar Handphonenya ke atas kasur lalu menyambar handuk yang tersampir di gantungan. Ia berniat membersihkan tubuhnya sebelum mengistirahatkan diri.

"Hey! Siapa yang menyuruhmu lapar ditengah malam seperti ini?" tegurnya pada perut yang meminta untuk diisi.

Biru mengabaikan rasa laparnya. Ia melenggang pergi menuju dapur, karena kamar mandi berada satu atap dengan dapur.

Seusai membersihkan tubuh tadi kini Biru sudah rebahan nyaman diatas kasurnya. Sedari tadi mengabaikan rasa lapar.

"Makan, tidak, ya?" ia menimang-nimang. "Besok sajalah," putusnya.

Biru mulai memejamkan matanya sampai menit berikutnya ia telah mengarungi mimpi. Tidurnya begitu nyenyak dalam kesendirian. Tubuh yang sakit tak lagi terasa, lapar yang menyerang memilih diam. Semuanya ikut mengistirahatkan diri masing-masing, mengistirahatkan diri dari peran yang melelahkan. Karena mereka tahu masih ada hari esok dimana mereka harus kembali mati-matian mengerahkan diri dan tenaga, demi sebuah peran yang tidak terlihat dan terbayar.

—O—

Biru menyentuh dahinya sendiri. Amat teramat panas tubuhnya telah banjir oleh keringat. Ia merasakan panas dan dingin secara bersamaan. Kepalanya teramat pusing saat digerakkan, seluruh tubuhnya terasa ngilu saat bergerak sedikit saja.

Melautkan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang