BAB 2

5.2K 341 12
                                    


Suasana café dekat kampus tidak lagi ramai. Sebab malam semakin larut, hujan di luar semakin lebat, dan tanda 'tutup' sudah lama terpasang di pintu masuk. Gemuruh guntur menemani perkumpulan pemuda-pemudi di pojok café.

Seperti tadi sore, Allister, Narendra, Hana, dan Bara masih betah berkumpul di salah satu café milik Bara yang tidak lagi menerima pelanggan ini.

Hana dengan mata sembabnya, karena berita mengejutkan satu jam yang lalu, bersuara lirih di antara ramai deras hujan. "Ini semua salah kita."

Wajah Allister mengeras, rangkulannya pada pundak Hana sedikit mengencang, membuat tangis gadis itu kembali pecah. Narendra menumpu kepalanya pada tangan yang tertekuk di sandaran sofa, sementara Bara mengacak rambutnya kasar.

"Se-semuanya nggak akan jadi kayak gini kalau... kalau..." Hana tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Benar, tidak seharusnya berjalan seperti ini. Mereka tidak mengharapkan kejadian hari ini sampai terjadi. Tidak mengharapkan berita pagi tadi dan sore ini mereka baca dan dengar. Tapi nasi telah menjadi bubur. Apa yang telah terjadi tidak dapat mereka ubah.

Sekarang yang tersisa hanya penyesalan.

"Shit!" Bara mengumpat pelan. "Gue nggak nyangka kalau Om Alan sampai nekat nyusul anaknya. Ini bahkan belum sehari, sialan!"

"Al," Hana menatap Allister dengan mata berair, pandangannya penuh keputusasaan. "Aku nggak tau gimana cara ngadepin rasa bersalah ini. Mora, Al... Mora... gara-gara kita Mora—"

"Bukan salah kita!" sentak Allister keras.

"Nggak!" Hana mendorong Allister, membuat rangkulan laki-laki itu lepas. "Hati kamu di mana, Al?! Kita yang bikin keluarga Mora hancur, kita yang buat dia dibully, kita sumber semua kesakitan dia!"

Allister menatap Hana marah. "She reaps what she sows herself (Dia menuai apa yang ditanamnya dulu)! Kalau dia tau tempat dan tau diri, nggak pernah main tangan sama kamu, nggak pernah berkelakuan busuk dulu, nggak pernah ngusik kehidupanku atau kamu, semua ini nggak akan terjadi!"

"Al, calm yourself down," suara dingin Narendra memutus argumen sepasang kekasih di depannya.

"Hana benar," ucapan Narendra selanjutnya mendapat tatapan tajam dari Allister. "Admit it, Al. Tindakan kita udah terlalu jauh sebelumnya, sampai akhirnya dia ada di titik ini. Semua nggak akan terjadi kalau dulu kita nggak mulai rencana sialan itu. Bahkan sampai Om Alan..." Narendra tidak lagi melanjutkan, ia menghela napas berat.

Allister terdiam, meresapi perkataan Narendra. Benar. Kalau dulu ia tidak mengajak Narendra bermain-main dengan perusahaan milik Atlanticus Wajendra, mungkin kehidupan seorang Amora Krishna Kakarauri masih sama baiknya seperti biasa.

Papi Amora mungkin tidak akan jatuh bangkrut dan kesusahan mencari pekerjaan baru yang layak. Allister dan Narendra sangat keterlaluan karena membuat nama pria paruh baya itu masuk dalam daftar black lists dunia bisnis. Mustahil bagi Papi Amora melamar kerja di sebuah perusahaan setelahnya.

Tapi sudut hati Allister masih merasa semua ini terjadi karena tingkah Amora sendiri. Dua tahun gadis itu sudah begitu menyulitkannya, memaksakan cinta penuh obsesi yang membuatnya sesak. Tidak memberi Allister jeda, bahkan tega berlaku keji pada gadis yang ia sukai, Hanako Kusumaningrum, siswi beasiswa di SMA mereka dulu.

Benar, mereka berempat dulunya satu almamater dengan Amora di bangku SMA. Gadis itu bisa dibilang berada di tingkat yang sama dengan Allister, Narendra, dan Bara. Dalam hal kekayaan, maupun popularitas dan prestasi.

FIX YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang