BAB 5

5.2K 323 5
                                    

Besok adalah hari terakhir Amora dan papinya berada di Swiss sebelum lusa pagi kembali ke Indonesia. Begitu juga dengan keluarga Hardinata. Gala menawarkan pada Amora untuk pulang bersama dengan pesawat pribadi keluarga mereka.

Awalnya Amora menolak dengan halus, tapi Milla terlihat berharap sekali Amora menerima ajakan itu. Papinya bahkan kelihatan tidak keberatan. Maka dengan setengah hati Amora mengiyakan permintaan Gala.

Saat ini mereka semua sedang makan malam bersama sambil saling berbincang santai. Setelah beberapa hari belakangan papi Amora dan orang tua Narendra tidak pernah kembali sebelum pukul sembilan malam, akhirnya hari ini mereka dapat pulang lebih sore dan mengusulkan untuk makan malam bersama di halaman belakang vila.

Milla memesan paket barbeque dari salah satu restoran steak terkenal di Iseltwald. Mereka semua menikmati makan malam di bawah lautan bintang, berlatarkan pemandangan danau dan pegunungan yang tidak kalah memukau saat malam.

Udara musim dingin tidak begitu terasa karena Gala dan Alen sempat membuat api unggun besar dekat meja makan mereka. Selain itu, suasana makan malam yang akrab mampu mendatangkan kehangatan di antara semua orang.

Menu utama sudah selesai dihidangkan, sekarang mereka sedang menikmati bundner nusstorte, yaitu pai kacang kenari khas Swiss, yang masih hangat sebagai makanan penutup.

Amora mengunyah painya perlahan, menikmati setiap gigitannya. Ia tidak tau kalau pai kacang kenari bisa seenak itu.

"Tante perhatiin Mora udah makin akrab sama Naren, ya," sahutan dari Milla mengurungkan suapan pai Amora.

"Iya, Tante. Mora sebenarnya agak nggak enak sama Naren, dia jadi nggak bisa jalan-jalan karena harus nemenin Mora seharian di vila," Amora tersenyum tidak enak pada Milla.

"Gue nggak masalah, kok. Udah bosen juga sama desa ini karena keseringan Papa ajak ke Swiss," bukan Milla, tapi Narendra yang berujar enteng.

Lelaki yang duduk di samping Amora itu meneguk air di gelasnya tenang. Milla sendiri sudah tersenyum lebar mendengar ucapan anak sulungnya.

"Tuh, Naren aja nggak keberatan, kok. Kamu jangan sungkan-sungkan, ya, Sayang," wanita paruh baya tersebut mengusap punggung tangan Amora di atas meja menenangkan. Amora membalasnya dengan senyuman kecil.

"Ehm, mumpung kita semua lagi kumpul di sini sekarang, ada yang mau kami bicarakan dengan kalian, Naren dan Mora," Gala meletakkan gelas wine­-nya yang sudah kosong dan mulai menatap anaknya juga anak sahabatnya bergantian.

"Bicara tentang apa, Pa?" tanya Narendra, masih tenang karena papanya tidak sedang bicara dengan nada tegang.

"Begini, kami berpikir untuk menjodohkan kalian," Gala mengatakannya tanpa tuntutan, meski begitu raut wajahnya sudah lebih serius.

"Perjodohan?" ulang Narendra kaget.

"Iya, Naren. Kami nggak memaksa, semua keputusan ada di tangan kalian karena nantinya kalian yang menjalaninya. Mama sendiri bakal senang kalau punya calon menantu secantik dan semanis Mora," Milla menambahkan.

Amora sendiri langsung menatap papinya yang langsung mengangguk dengan senyuman kecil. Berbeda dengan Narendra yang terkejut, Amora sudah menduga pembahasan tentang perjodohan ini akan terjadi.

Kejadian kecelakaannya rupanya tidak merubah kejadian ini. Papinya dan orang tua Narendra tetap tertarik untuk menjodohkan anak-anak mereka.

Apa artinya kalau ia berhasil menerima maaf dari Allister dan Hana, bisa saja ia akan tetap meregang nyawa dua tahun dari sekarang?

FIX YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang