BAB 11

4.8K 333 13
                                    

Malamnya, Milla dan Narendra berkunjung ke kediaman Wajendra untuk menjenguk Amora. Mama tunangan Amora itu bersikeras datang karena kelewat khawatir setelah mendengar kalau calon menantunya harus pergi ke rumah sakit pagi tadi untuk melakukan pemeriksaan mendadak.

Dan seperti biasa, Narendra tidak kuasa menolak keinginan sang ratu rumah.

Mereka tiba di rumah Alan tepat sebelum jam makan malam. Jadi, sekalian saja papi Amora mengajak tamu dadakannya tersebut untuk bergabung di meja makan.

Selesai makan malam, semua orang berkumpul di ruang keluarga untuk mengobrol.

"Kenapa kemarin bisa sampai jatuh, Sayang?" Milla menatap sedih pada Amora yang duduk di sebelahnya.

"Mora kurang hati-hati waktu pulang sekolah, Ma, jadinya kepeleset," jawab Amora sambil melirik Narendra yang sedang berbicara dengan papinya.

"Ya Tuhan," Milla mengambil tangan kiri Amora untuk digenggam. Kepalanya lalu menengok pada sang anak sulung, ekspresi Milla berubah galak. "Naren, punya tunangan, tuh, dijagain, dong! Kamu nggak langsung jemput Mora ke kelas waktu jam pelajaran selesai, ya?!"

Obrolan Narendra dan Alan terputus. Narendra menatap datar mamanya, yang seperti biasa, menunjukkan aksi berlebihan saat ada Amora di depannya.

"Iya, Ma. Naren salah, Naren minta maaf," kata remaja lelaki itu seadanya.

Milla melotot. "Minta maafnya ke Mora, dong!"

Mata Narendra bergulir ke arah Amora yang juga sedang memandanginya. "Gue minta maaf, harusnya gue langsung samperin lo ke kelas setelah bel."

"Nggak, Naren. Gue yang nggak enak soalnya ngerepotin lo terus," Amora menimpali dengan tenang.

Milla menatap sang anak dan calon menantunya bergantian, malah jadi salah fokus dengan panggilan keduanya. Alisnya berkerut-kerut tidak senang.

"Kalian udah tunangan, lho. Kenapa panggilannya masih lo-gue, gitu? Coba yang manis dikit, diganti jadi aku-kamu."

Amora dan Narendra sama-sama terdiam, saling bertukar pandangan.

"Nggak usah berlebihan, deh, Ma. Naren sama Mora juga nyaman-nyaman aja pakai panggilan lo-gue, kok," Narendra menahan dirinya untuk tidak menghela napas.

"Mana bisa kayak gitu? Kalian, kan, nantinya bakal nikah. Hubungan kalian ini udah satu tingkat lebih serius dari pacar-pacaran, lho. Harus dibiasain sekarang ubah panggilannya," seloroh Milla, sarat akan desakan.

"Tapi, Ma—" baru saja mau melontarkan balasan, suara Amora lebih dulu menyela Narendra.

"Mora sama Naren bakal usahain, ya, Ma. Nanti kita pelan-pelan coba ubah panggilan kita," gadis itu berucap dengan nada tenangnya yang sama.

"Nah, gitu, dong!" Milla tersenyum puas.

Dengusan kecil akhirnya Narendra keluarkan. Perhatiannya kemudian teralih saat Alan menepuk pundaknya pelan seraya tersenyum maklum.

"Mau ikut saya ngobrol di teras samping?" tawar Alan.

"Boleh, Pi."

Mereka berdua melangkah menuju teras samping rumah yang berhadapan dengan kolam renang, meninggalkan Milla yang sudah asyik membicarakan koleksi-koleksi haute couture baru dari peragaan busana di Paris beberapa hari lalu.

Alan lebih dulu duduk di salah satu single sofa bergaya Italian yang berada di sudut teras, Narendra mengikutinya duduk di sofa lainnya. Malam hari, pemandangan kolam renang yang dikelilingi lampu taman terlihat memukau.

"Naren udah ada bayangan mau ambil jurusan apa kuliah nanti?" Alan membuka lagi percakapan mereka yang sebelumnya dipotong oleh Milla.

"Mungkin ambil Manajemen Bisnis, Pi," jawab Narendra sekenannya.

FIX YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang