Dua hari kemudian, Amora sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Kondisi tubuhnya meningkat pesat, badannya sudah tidak begitu sakit dan kaku. Hampir semua luka goresnya sudah mengering. Lebam-lebam di kulit juga perlahan mulai pudar.
Narendra kira dengan keluarnya Amora dari rumah sakit, ia bisa lebih banyak mengahabiskan waktunya sendiri. Tidak perlu lagi menemani gadis itu yang terus saja diam tiap kali orang tua mereka bepergian.
Tapi nyatanya waktu Narendra tersita makin banyak untuk Amora. Itu karena orang tua mereka memutuskan untuk menyewa sebuah vila di tepi Danau Brienz sampai hari terakhir mereka di Swiss dan tinggal bersama di sana.
Sekarang seluruh waktu Narendra digunakan untuk mengawasi dan menemani Amora. Adiknya, Bianca Tanisha Hardinata, yang ikut dalam perjalanan ini, tidak bisa banyak diandalkan. Aca, panggilan sang adik, terlalu ceroboh ketika harus menjaga Amora.
Pernah sekali Narendra meninggalkan Aca berdua dengan Amora untuk pergi keluar membeli roti hangat di bakery dekat vila mereka. Narendra yakin ia hanya keluar sebentar, dan adiknya itu sudah lupa dengan keberadaan Amora yang ia tinggal di teras belakang vila.
Gadis itu nyaris membeku kedinginan karena Aca tanpa sadar mengunci pintu teras dari dalam, mengira tidak ada siapapun di sana. Padahal Amora sedang duduk di kursi santai yang tidak terlihat dari pintu. Narendra juga sudah mengatakannya pada Aca sebelum pergi, tapi rupanya sang adik lupa.
"Kamu mau bikin anak orang mati kedinginan?!" tegur Narendra saat itu dengan suara meninggi. Tangannya sibuk membungkus tubuh Amora dengan selimut tebal.
Aca menunduk dalam dan memilin ujung kemeja flanelnya. Gadis kelas dua SMP itu tau kalau dirinya bersalah karena tidak mendengar benar-benar pesan abangnya dan berakibat tanpa sengaja mengunci Amora di teras.
"Maaf, Bang, Kak Mora," lirih Aca dengan bibir mengerucut. Ia tidak berani menatap wajah marah Narendra di depannya.
"It's ok, Bibi," Amora lebih dulu menanggapi dengan meraih salah satu tangan Aca, meremasnya lembut.
Aca perlahan mengangkat wajahnya, mengerjap melihat wajah tenang Amora. Panggilan perempuan itu terasa menggelitik telinganya. Dulu Aca tidak suka dipanggil Bibi, yang sempat menjadi panggilan kecilnya. Tapi entah mengapa nama Bibi jadi terdengar tidak begitu buruk kalau Amora yang mengucapkan.
Narendra mengamati raut sang adik yang tidak berubah kesal atas panggilan Amora. Dahinya mengernyit, tidak paham mengapa remaja puber itu baik-baik saja setelah dipanggil dengan nama yang tidak disukainya.
Mengesampingkan rasa herannya, Narendra melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Aca dengan pandangan tegas. "Jangan diulangi lagi, Ca."
Dengan cepat Aca mengangguk sebelum berbalik cepat ke dalam, meninggalkan Narendra dan Amora berdua di teras. Narendra menghela napas, beralih lagi pada Amora yang masih betah memandang jauh ke danau.
Lelaki itu tidak habis pikir dengan Amora yang diam saja terkunci di luar. Saat Narendra berhasil menemukannya setelah hampir sepuluh menit mencari di seluruh ruangan, gadis itu hanya menyambutnya dengan tatapan kosong tanpa arti.
Narendra memutuskan untuk membawa Amora masuk ke dalam dan mendudukkannya di ruang tengah tempat perapian berada. Tak berselang lama, Aca muncul dengan secangkir cokelat hangat untuk Amora sebagai permintaan maaf.
Setelah kejadian itu Narendra tidak pernah lagi meninggalkan Amora bersama Aca sendirian.
Bukan karena ia tidak percaya Aca akan melakukan kesalahan serupa untuk kedua kalinya. Melainkan ia tidak bisa mempercayai Amora yang terlihat ingin menyakiti dirinya sendiri di mata Narendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIX YOU
Teen FictionAmora cinta mati dengan Allister. Tidak, lebih tepatnya, ia tergila-gila dengan lelaki populer di SMA-nya tersebut. Segala cara Amora lakukan untuk mendapatkan Allister. Termasuk, merundung seorang siswi beasiswa bernama Hana yang mendapat perhatian...