BAB 23

3.7K 473 47
                                    

Hari sudah sore saat Amora sampai di rumahnya. Akibat kemacetan panjang selama perjalanan, butuh waktu nyaris dua jam untuk mencapai kompleks perumahan Amora.

Hujan juga masih betah membasahi kota, membuat langit yang seharusnya mulai menguning karena matahari kian beranjak ke barat—tetap gelap berselimut awan kelabu.

"Mora, udah pulang?" suara Alan yang memanggil Amora dari arah ruang keluarga mengurungkan langkah kaki gadis itu yang hendak menapaki tangga.

Amora memilih bergabung dengan papinya, mengambil duduk di sofa single di sisi kanan sofa yang ditempati Alan. Di atas meja tersaji seteko teh panas yang aromanya begitu harum, satu cangkir teh yang tersisa setengah isinya, sebuah cangkir yang masih bersih, dan beberapa jenis bolu dan brownies yang diletakkan di atas piring.

Sepertinya Alan sedang menikmati waktu minum teh sorenya sebelum Amora pulang.

"Papi kira kamu pulang lebih sore. Apalagi sedari sebelum siang hujan deras, kan," ucap Alan, menyimpan iPad yang sudah pasti berisi berkas pekerjaannya.

"Besok Mora ada tryout test, Pi. Jadi memang sengaja pulang siangan biar bisa istirahat sebentar sebelum lanjut belajar nanti malam," papar Amora. Alan mengangguk-angguk mengerti.

"Mau Papi tuangkan teh untuk Mora?" Alan menawarkan saat menyadari mata anaknya yang tidak lepas mengamati sajian di atas meja.

"Boleh, Pi."

Alan menuangkan teh chamomile dalam teko ke dalam cangkir yang masih bersih, lalu mendorongnya mendekat ke Amora. Setelah berterima kasih, Amora mengambil cangkir tersebut dan menyesap isinya pelan.

"Papi lihat, kamu akhir-akhir ini nambah jam belajar dan les mata pelajaran kamu, ya. Sampai-sampai jadi jarang makan malam sama Papi lagi," Alan menatap putrinya teduh.

Amora menggenggam cangkir teh hangat dalam pangkuannya, balas menatap sang papi gamang.

"Sebentar lagi, kan, Mora mau Ujian Sekolah sama tes masuk univ, Pi. Jadi Mora harus belajar lebih banyak dari biasanya," kata gadis itu pelan.

"Oh, iya, Papi baru ingat kalau Mora sebentar lagi lulus, ya. Nggak kerasa kalau putri kecil Papi ini udah mau jadi mahasiswi aja," Alan terkekeh.

"Mora udah pikirin mau daftar ke kampus mana?" lanjutnya bertanya. Nada bicara Alan sama sekali tidak terdengar menuntut.

Amora menggigit kecil bibir bawahnya sebelum balik bertanya. "Papi maunya Mora daftar ke mana?"

Alan tersenyum, menangkap kerisauan dalam wajah putri semata wayangnya. "Kenapa malah tanya Papi? Kan, yang mau kuliah Mora. Papi udah nggak sanggup lagi kalau harus ikut acara-acara OSPEK buat mahasiswa baru," ungkapnya disertai candaan.

Namun, Amora hanya bisa tersenyum kecil menanggapi kelakar sang papi. Ibu jarinya mengusap bibir cangkir perlahan, pandangannya seolah menerawang.

"Mora," Alan memanggil nama Amora lembut, membuat bola mata anaknya bergulir meninggalkan permukaan air teh dalam cangkir. "Putri kesayangan Papi, ada hal yang bikin hatimu berat, Nak?"

Mata Amora bergetar. Sebelum selaput air mata mengaburkan pandangannya, ia buru-buru mengedip cepat. Gadis itu lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya.

Kalau Amora tidak membicarakannya sekarang dengan Alan, makin banyak waktu yang akan terbuang dengan melelahkan untuk berpikir. Ujian Sekolah hanya tinggal menghitung bulan, dan ada banyak hal yang harus dipersiapkan.

FIX YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang