BAB 3

5.4K 337 2
                                    

Amora merasakan kepalanya seolah berputar hebat sebelum berhasil membuka mata. Semuanya tampak redup dan kabur. Sekujur tubuhnya nyeri, terutama lengan tangan kanannya.

Suara bip-bip-bip samar perlahan masuk ke indera pendengaran Amora. Apa seperti ini suasana di dalam kubur? Kenapa ia seperti mendengar suara mesin EKG yang dulu sering dilihatnya dalam drama Korea?

Amora mengerjap perlahan. Pandangannya semakin jelas. Ia melihat langit-langit berwarna putih gading dan sebuah lampu gantung yang tidak menyala di atas sana. Kenapa langit-langitnya lebih mirip ruangan normal daripada peti mati tempat ia seharusnya berada?

Ia mencoba menggerakkan jari-jemarinya yang terasa kaku. Kenapa hanya jari tangan kanannya yang tidak bisa bergerak?

Tunggu, memangnya orang yang sudah meninggal dan terkubur masih bisa menggerakkan tubuhnya?

Amora sadar ada banyak hal yang janggal. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang, penuh was-was dan antisipasi.

Hah?

Jantungnya berdetak kencang? Bukankah organ itu seharusnya tidak lagi berfungsi?

Suara benda berat yang digeser terdengar tiba-tiba. Seseorang berjalan mendekat, membuat Amora semakin bingung dalam pembaringannya. Apakah itu malaikat yang akan membawanya ke surga atau neraka?

Suara kesiap dari orang tersebut membuat Amora melirik susah payah. Matanya melebar saat didapatinya wajah sang papi dengan mata berkaca-kaca.

Tunggu, tunggu, kenapa papinya bisa ada di sini?

"Mora... putri Papi, kamu sudah sadar, Sayang?" Alan mengulurkan tangannya, mengusap pipi Amora hati-hati.

Amora mengerjap begitu pelan, ingin bersuara dan bergerak tapi tidak sanggup. Badannya tidak mau mendengarkan apa yang Amora inginkan. Alan menekan tombol di atas kepala Amora dan satu menit kemudian seorang laki-laki berseragam perawat datang.

"Can I help you with anything, Sir (Ada yang bisa saya bantu, Pak)?" tanya perawat itu sopan.

Alan lebih dulu mengusap sudut matanya yang berair sebelum menjawab. "My daughter has just woken up from her coma (Putri saya baru saja bangun dari komanya)."

Perawat itu maju lebih dekat pada tempat Amora berbaring, mengamati sejenak sebelum kembali ke tempatnya semula. Ia juga melihat dengan seksama alat-alat medis yang berada di sekitar Amora sebelum mencatat sesuatu di sebuah buku catatan kecil yang dibawanya.

"Please wait a moment, I will call a doctor to examine the patient's condition further (Mohon tunggu sebentar, saya akan panggilkan dokter untuk memeriksa kondisi pasien lebih lanjut)."

Perawat itu berlalu, meninggalkan Amora bersama papinya yang kini sudah menyeret sebuah kursi kecil mendekat. Amora bisa merasakan tangan papinya yang hangat melingkupi tangan kirinya yang dingin.

Jadi, Amora belum meninggal? Usahanya merenggut nyawa gagal? Itulah yang bisa otak Amora proses saat ini.

Satu hal yang pasti, dirinya sedang berada di salah satu ruangan rawat inap rumah sakit. Ruangan yang bagus dan lengkap. Apakah papinya menggunakan uang tabungan Amora untuk membayar perawatan rumah sakit kelas VIP ini?

Harusnya, kan, uang itu digunakan untuk membangun usaha kecil baru. Kenapa malah disia-siakan untuk perawatan medis Amora? Ia tidak masalah berbaur dengan pasien lainnya di kamar kelas 3 yang jauh lebih murah.

Di tengah pikirannya, Amora tidak sadar sudah ada tiga orang dokter yang memenuhi ruangannya bersama tiga orang perawat. Kamar rawat Amora seketika ramai. Salah seorang dokter memeriksa mata Amora dengan senter kecil dan bertanya beberapa hal yang hanya dijawab oleh kedipan pelan gadis itu.

FIX YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang