BAB 12

4.8K 313 21
                                    

Seperti biasa, ruang kelas akan berubah sepi sesaat setelah bel istirahat kedua berbunyi. Jumlah murid yang memilih tinggal bisa dihitung jari, tidak pernah lebih dari lima atau enam orang.

Siang ini, Hana memilih untuk menikmati bekal makan siangnya di kelas, ditemai Gia, teman sebangkunya. Mungkin karena sesama murid penerima beasiswa, Hana merasa lebih dekat dan akrab dengan Giana Gemani, gadis yang sudah menjadi temannya sejak masa orientasi.

"Tumben lo bawa bekal, Na?" tanya Gia di sela kunyahan rotinya.

Di istirahat pertama tadi Gia sempat membeli roti dan sekotak susu. Belum sempat termakan karena bel masuk yang keburu berbunyi nyaring.

"Dibawain Bunda tadi pagi, soalnya masak nasi gorengnya kebanyakan," jawab Hana kalem. "Kamu mau, Gi? Sini makan sama aku," tawarnya menyodorkan kotak bekalnya pada Gia.

"Nggak, deh. Habis minum susu ini pasti udah kenyang banget gue. Lo habisin aja nasi goreng Bunda lo," Gia mendorong kotak bekal Hana kembali.

"Oya, dari pagi gue nggak liat lo jalan sama Allister. Ke mana, tuh, cowok?" Gia melipat bungkus roti dan mulai membuka sedotan.

"Nggak tau juga, Gi. Tadi pagi, kan, aku masuknya mepet bel, jadi nggak sempet ketemu siapa-siapa," Hana menyuap lagi nasi goreng dinginnya yang masih tersisa setengah.

"Dia nggak lagi sama si Nenek Lampir, kan, ya?" mata Gia otomatis melirik pada bangku di depan meja guru. "Secara, beberapa hari ini itu cewek keliatan deket banget sama Narendra yang notabene temen deketnya Al."

Hana terdiam. Mau tidak mau jadi ikut kepikiran akibat ucapan Gia. Dia sendiri sudah menyaksikan seberapa dekat Amora dengan Narendra di hari pertama dua orang itu kembali masuk sekolah.

"Jangan bilang Amora sengaja deket-deket Naren biar bisa lebih nempel lagi sama Al. Dih, padahal udah ditolak berapa kali juga, nggak nyerah-nyerah buat ngejar. Urat malunya beneran udah putus, tuh, cewek," Gia terus saja berceloteh saat Hana tak juga menanggapi.

"Tapi kenapa orang sekelas Naren mau-maunya aja akrab sama Amora, ya? Pakai pelet apa gimana itu si Nenek Lampir?" alis Gia menukik ke bawah, melemparkan ekspresi curiga penuh tuduhan.

"Orang-orang kayak mereka, kan, pastinya satu circle, Gi. Pasti sering ketemu di perkumpulan para orang kaya," Hana mengendikkan bahunya.

"Iya juga, sih," Gia manggut-manggut. "Kebayang nggak, sih, Na? Kalau misal lo nikah sama Al nanti, bakal jalanin kehidupan yang sama kayak mereka? Pergi ke pesta ini-itu, ikut perkumpulan sosialita, liburan ke luar negeri berkedok perjalanan bisnis," Gia mulai berandai-andai.

"Hush, siapa juga yang bakal nikah sama Al?" Hana mengibaskan tangan di depan wajah Gia.

"Halah, semua orang yang matanya normal juga bisa liat, kali, Na. Jelas-jelas Al itu naksir sama lo! Kalau bukan karena si Nenek Lampir yang hobinya ngerusuh sama cari perkara ke lo, udah jadian dari lama kalian!" sahutan Gia membuat wajah Hana bersemu.

Ia juga tau, kok, kalau Allister menaruh rasa padanya. Hana sendiri juga sudah lama jatuh dalam pesona laki-laki itu. Mungkin Hana hanya satu dari puluhan perempuan yang menyukai Allister. Tapi kalau laki-laki itu hanya suka padanya, artinya Hana yang menjadi pemenang, kan?

"Dih, sampai merah gitu mukanya! Najis!" Gian melempar gulungan bungkus sedotan pada wajah Hana. Keduanya sontak tertawa.

"Oya, omong-omong, udah beberapa hari ini sekolah berasa tenang, ya. Nggak ada huru-hara Amora sama antek-anteknya yang keranjingan gangguin lo," celetuk Gia seraya menyedot habis susu kotaknya.

Hana mengangguk setuju. Jika biasanya setiap istirahat pertama atau kedua, Amora datang bersama geng Evelyn, kakak kelas populer yang entah mengapa sangat anti dengan Hana, untuk membuat keributan sampai merasa puas, kini batang hidung orang-orang itu tidak terlihat di sekitarnya.

FIX YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang