Pukul delapan lewat lima belas pagi, Narendra dan Gala baru tiba di salah satu hotel bintang lima di pusat kota Zurich, Swiss.
Keduanya langsung memasuki kamar yang sebelumnya sudah dipesan setelah memperoleh kartu aksesnya dari asisten Gala. Pram—asisten Gala, sudah tiba lebih dulu di Storchen Hotel, tempat mereka menginap selama berada di Zurich.
Oleh karena itu Gala dan Narendra bisa langsung menuju kamar tipe riverside signature suite, salah satu kamar termahal di hotel tersebut. Lokasi kamar yang berhadapan langsung dengan Sungai Limmat membuat harganya berkali lipat lebih tinggi dari tipe kamar lainnya.
Narendra dan papanya akan menginap di sana selama kurang lebih satu pekan. Lalu mereka akan bertandang ke Berlin untuk urusan selanjutnya.
"Bersih-bersih dulu, Ren," ujar Gala saat melihat sang anak sulung yang langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa bed.
"Papa dulu," gumam Narendra enggan. Sungguh matanya sudah berat sekali, tubuhnya juga pegal-pegal, meminta untuk segera diistirahatkan.
"Nggak usah banyak alasan, kamar mandinya ada dua," decak Gala.
Narendra mengerang malas. "Lima menit," katanya dengan suara teredam bantal sofa.
"Makin cepat kamu mandi, makin cepat juga kamu bisa istirahat," Gala terus mendesak, membuat Narendra menyerah dan bangkit dari posisi rebahannya.
"Koper Naren mana, Pa?"
"Cari aja di kamarmu," Gala mengendikkan dagunya ke arah salah satu ruangan di dekat balkon.
Narendra menyeret kakinya yang terasa berat ke ruangan yang ditunjuk papanya. Benar saja, koper hitam besar miliknya sudah ditaruh dengan rapi di sudut ruangan. Narendra membukanya dan mengambil asal sebuah kaus polos beserta celana pendek dari dalam.
Menanggalkan jaket dan kaus kakinya lebih dulu, Narendra melangkah gontai ke kamar mandi, melaksanakan perintah memaksa Gala.
Lima belas menit kemudian, Narendra keluar dengan tubuh yang lebih segar, tapi wajahnya masih tetap tampak mengantuk. Mengeringkan rambut seadanya dengan handuk, Narendra duduk di ujung tempat tidur.
Satu tangan Narendra yang bebas meraih slingbagnya yang tadi ia lempar asal ke atas tempat tidur. Dikeluarkannya ponsel yang sejak berangkat kemarin sengaja ia matikan. Toh, tidak akan bisa banyak digunakan saat di pesawat.
Sambil menunggu ponselnya menyala, Narendra mengembalikan handuk basahnya ke kamar mandi. Lalu ia kembali dan membanting tubuhnya ke tengah-tengah ranjang.
Beberapa notifikasi memenuhi layar lockscreen ponsel Narendra. Ia mengabaikan lainnya dan memilih membuka notifikasi pesan dari Amora yang masuk beberapa jam setelah pesawatnya take off.
Bibir Narendra menyunggingkan senyuman tipis. Jemarinya bergerak membalas pesan tunangannya tersebut.
Me
Barusan sampai di hotel.
Sekarang lagi istirahat sebelum nanti sore ketemu perwakilan Inside Inc.
Kamu lagi perjalanan ke Hokkaido, kan?
Safe flight, Amore.
Telepon aku kalau udah sampai.
Narendra memandangi pesannya sekali lagi. Bertanda centang dua abu-abu, sepertinya Amora sudah sampai di Hokkaido. Apa gadis itu sedang tidak memegang ponselnya, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
FIX YOU
Teen FictionAmora cinta mati dengan Allister. Tidak, lebih tepatnya, ia tergila-gila dengan lelaki populer di SMA-nya tersebut. Segala cara Amora lakukan untuk mendapatkan Allister. Termasuk, merundung seorang siswi beasiswa bernama Hana yang mendapat perhatian...