2

102 16 48
                                    

Hari ini istirahat siang nya ditemani Yeorin ya..
Selamat membaca..
.
.
.

Yeorin.

Aku tidak tahu apa yang kuharapkan dari rumah Choi Jimin.

Aku membayangkan sesuatu yang sangat dingin dan modern. Garis tajam, warna gelap, banyak krom dan kaca.

Aku belum siap menghadapi betapa hangatnya apartemennya.

Aku menyadari ketika melangkah masuk bahwa Jimin memiliki seluruh lantai atas bangunan itu untuk dirinya sendiri, menciptakan ruang terbuka yang luas.

Bata merah di bagian luar bangunan menjadi fitur dominan di dalam, memberikan kesan nyaman pada ruangan yang luas.

Jendela hampir dari lantai ke langit-langit melengkung di bagian atas dengan selubung hitam, dan melapisi seluruh dinding ruangan.

Konsepnya terbuka, jadi dapur paling dekat dengan pintu dengan lebih banyak batu bata ekspos, lemari hitam, pulau besar, meja daging, dan lantai semen.

Apartemen mengalir dari sana ke ruang makan dengan meja panjang, dan kemudian area ruang tamu yang menampilkan beberapa area tempat duduk. Yang satu memiliki suasana percakapan dan intim dengan kursi empuk kecil dan tiga kursi kulit hitam yang semuanya saling berhadapan.

Di sampingnya ada area tempat duduk yang lebih besar dengan sofa berumbai putih menghadap TV berbingkai besar di dinding.

Lalu terakhir, di ujung sana terdapat area permainan yang didominasi meja biliar kayu ramping bernuansa hitam. Satu sisi meja biliar dibatasi oleh meja dan kursi tinggi. Sisi lainnya memiliki bar besar yang terisi penuh dan sistem stereo.

Ada ruangan di luar ruangan itu.

Tapi sedikit terputus dari pandangan berkat tangga besar menuju area loteng yang mengelilingi seluruh apartemen.

Tampaknya setiap ujung rumah memiliki kamar tidur dengan satu lorong panjang yang menghadap ke lantai bawah di antara keduanya.

"Nyonya Choi,” sebuah suara yang baru kukenal terdengar di telingaku, membuatku menoleh untuk melihat pria yang datang ke kamar pengantin di katedral, yang membawaku menuju pelaminan.

Aku terlalu teralihkan sehingga tidak terlalu memikirkannya sebelumnya. Tapi karena tidak ada hal lain yang ingin kupikirkan saat itu, aku meluangkan waktu sejenak untuk mengajaknya masuk.

Seperti Jimin, dia tinggi dan bugar dalam setelan jasnya dengan rahang persegi dan alis tebal di atas mata cokelat keemasan.

"Ya?" tanyaku, masih berusaha memahami panggilannya.

Choi Yeorin.

Kurasa itu terdengar bagus.

“Ada yang bisa kuberikan padamu?” dia bertanya sambil melambai ke arah bar tempat Jimin menenggak minuman keduanya.

Aku berusaha untuk tidak khawatir dia minum karena aku. Karena dia kecewa dengan pernikahan ini, pada ku sebagai seorang istri.

Aku hanya pernah menyesap anggur seumur hidupku. Bisa dibilang sebagai satu-satunya anak perempuan di sebuah keluarga dengan empat kakak laki-laki, dan seorang ayah yang menduda, aku sangat terlindung dalam hidupku.

Seseorang selalu mengawasiku, memastikan aku tidak pernah mendapat masalah, tidak pernah melakukan apa pun.

Jadi minum untuk menenangkan saraf atau setelah hari yang panjang dan berat bukanlah pilihan bagi ku.

Aku tidak berpikir malam ini adalah malam untuk mencobanya.

"Aku baik-baik saja," kataku sambil menggelengkan kepala.

Love Him Like WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang