18

88 14 6
                                    

Yeorin.

Aku terkejut betapa relanya Yungie membiarkanku pergi bersama Jimin setelah tangisan epik yang kulakukan di depannya.

Tapi saat Jimin masuk ke aula, Yungie mendesah keras dan menoleh padaku.

“Aku tidak akan membiarkanmu pergi bersamanya jika dia tidak terlihat sangat hancur saat muncul di pintu,” katanya. “Tapi jika pria itu membuatmu menangis seperti itu lagi, aku akan menembak kepalanya.”

“Kurasa dia tidak akan melakukannya,” kataku.

“Lebih baik tidak. Kau pantas mendapatkan seseorang yang tahu apa yang dimilikinya.”

Masalahnya, aku merasa seperti Jimin.

Jika tidak, aku tidak akan kembali bersamanya, tidak akan menyambut patah hati seperti itu lagi.

Aku benar-benar mulai percaya bahwa Jimin tidak tahu bagaimana menunjukkan perasaannya, bukan karena dia tidak punya perasaan.

Kami berkendara pulang dalam keheningan setelah Jimin menyeruput es kopi ku sambil mengusap-usap kulit kepala ku dengan gerakan melingkar yang nikmat.

Baru setelah kami berada di dalam apartemen lagi, dan kami duduk di ruang tamu bersama menunggu pengiriman karena kami berdua melewatkan makan dengan semua kegilaan ini, dia menarik kakiku ke pangkuannya dan mengakui,

"Aku harus memperingatkanmu sebelumnya bahwa kau akan bangun sendirian besok," katanya,

Suaranya tegang, seperti dia mengharapkan aku akan meledak, mengira dia sudah menarik kembali semua janjinya.

"Karena hal serius apa pun yang terjadi di dalam gedung itu?" tanyaku.

"Ya, persis seperti itu," dia setuju,

Jari-jarinya menyisir rambutku, lalu bergerak turun untuk mengusap leherku. Aku ingin menggeliat seperti kucing di bawah sentuhannya. Tapi aku mencoba untuk fokus.

"Aku tidak mengharapkanmu berada di rumah sepanjang waktu," kataku. "Aku tumbuh dalam keluarga mafia. Aku mengerti bagaimana terkadang sesuatu muncul."

"Semoga saja, ketika masalah ini beres, aku tidak akan sesibuk itu."

"Kata-kata terakhir yang terkenal dari seorang bos," kataku, memberinya senyuman penuh arti.

“Itulah kebenarannya,” dia setuju, mencengkeram simpul di bahuku yang membuatku menegang, lalu rileks, saat itu mereda. “Tapi aku akan lebih sering berada di dekatmu.”

“Aku tahu,” aku setuju, tidak membutuhkan dia untuk terus bersikeras.

Waktu akan membuktikan janjinya benar.

“Mengapa Yungie hyung terdengar sangat terkejut bahwa kau akan memasak ketika dia datang?” tanyanya.

“Aku tidak… aku tidak terlalu suka memasak,” aku mengakui. “Tapi kakak-kakak ku selalu menggerutu tentang hal itu karena mereka bilang aku juru masak terbaik di keluarga.”

“Dalam keluarga besar, itu pasti pujian yang tinggi. Kenapa kau tidak memasak?”

“Biasanya itu membuatku sedih,” aku mengakui. “Aku dulu selalu memasak dengan ibuku. Jadi, itu selalu membangkitkan kenangan.”

“Tidak ingin kau memasak untukku jika itu membuatmu sedih, Yeorin.”

"Tidak,” aku bersikeras. “Bukan begitu, sekarang aku ingin memasak untukmu. Terakhir kali ketika aku memasak… itu adalah pertama kalinya dalam waktu yang lama aku tidak sedih, hanya… bersemangat.”

“Dan aku bahkan tidak bisa pulang untuk memakannya.”

“Kau lebih tahu sekarang,” kataku, memikirkan kata-katanya di tempat Yungie.

Love Him Like WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang