11

88 15 24
                                    

Yeorin.

Aku terbangun dalam keadaan bingung dan sakit hati, pikiranku kabur untuk waktu yang lama hingga kenangan itu mulai mengalir kembali.

Kemarahan pada Jimin.

Keluar.

Merasa sedih.

Tangan-tangan meraihku, mendorongku, memukulku, mencari-cariku.

Lalu berlari pulang.

Kemarahan Jimin, lalu kelembutannya.

Pandanganku beralih ke samping, melihat tumpukan uang tunai masih tergeletak di meja rias tempat Jimin meninggalkannya.

Konyol memang, tapi hal seperti itu membuatku merasa lebih dari sekedar benda di tempat tidurnya. Bahwa dia ingin membagi uangnya dengan ku. Seperti pasangan suami istri sungguhan.

Kemudian setelah itu, dia naik ke tempat tidur bersamaku dan memelukku, jari-jarinya menyentuhku. Sangat manis dan lembut.

Jantungku berdebar kencang mengingat kenangan itu saat sulur-sulur harapan menyebar di dadaku. Rapuh, tapi tidak salah lagi.

Aku duduk di tempat tidur, mengeluarkan sedikit rengekan sambil menggunakan tanganku, sejenak melupakan telapak tanganku yang tergores.

Tidak lama kemudian, aku mendengar langkah kaki di tangga.

Rasa rindu membuatku membayangkan Jimin membuka pintu, dan aku terlalu tenggelam dalam keinginanku sendiri hingga menyadari bahwa langkah kaki itu terlalu ringan untuk menjadi dirinya.

Sampai pintu terbuka.

Dan di antara semua orang, ada Yunjung.

“Kukira aku mendengarmu bergerak,” katanya sambil mendorong pintu hingga terbuka lebih jauh, tapi tidak melangkah masuk.

Aku mengulurkan tangan dan menyalakan lampu, yang membuat wajah menawan Yunjung berubah.

"Brengsek," desisnya.

“Apa itu buruk?” tanyaku sambil menyentuhkan ujung jariku ke pipiku yang berdenyut-denyut.

"Keparat itu," katanya, rahangnya terkatup rapat sambil menggelengkan kepalanya. “Kenapa kau sendirian?”

"Apa?" tanyaku, alisnya berkerut.

“Mengapa tidak ada bodyguard bersamamu?”

“Apa seharusnya ada?” tanyaku bingung. “Jungkook bilang aku tidak perlu tinggal di apartemen.”

“Jungkook?,” ulangnya.

"Ya."

“Bukan Jimin?.”

Itu bukanlah sebuah pertanyaan.

Tapi aku tetap menjawabnya.

"Ya."

“Kau yang bertanya pada Jungkook, bukan Jimin.”

“Haruskah aku bertanya pada Jimin?” tanyaku, khawatir Jungkook akan mendapat masalah karena membiarkanku pergi jika tidak seharusnya.

"Apakah kau berbicara dengan Jimin?” dia bertanya, pindah ke dalam, tapi hanya bersandar pada kusen pintu.

“Ya… sedikit,” kataku, tidak mau mengakui betapa sedikitnya itu.

Dan satu-satunya saat kami berbicara adalah saat kami telanjang.

"Ya Tuhan, pria-pria brengsek ini," desisnya sambil mengangkat tangannya untuk menggosok matanya.

“Jangan panik,” katanya sambil menatapku lagi. “Jungkook dan Dongman sangat dekat dengan Jimin. Jika Jungkook mengatakan itu memang seharusnya terjadi, dia benar.”

Love Him Like WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang