20

71 17 18
                                    

Yeorin.

Aku sudah merencanakan makan malam sejak aku bangun tidur.

Untuk sekali ini, tidak kesal karena bangun sendirian. Jimin telah memperingatkanku bahwa dia akan pergi lebih awal. Setelah memelukku sepanjang malam.

“Jung, bisakah kita memesan lagi di ponselmu?” tanyaku. “Dan aku akan memberimu uang tunai,”

Sambil mencatat dalam benakku untuk bertanya kepada Jimin bagaimana aku bisa membeli barang secara daring atau melalui aplikasi saat dia pulang.

“Kau memasak lagi?”

“Ya.”

“Dengan satu syarat,” katanya.

“Tentu,” aku setuju, merasa tahu ke mana arahnya.

“Aku ingin satu porsi.”

"Ya, tentu saja," kataku sambil memutar mataku ke arahnya.

Setelah itu, aku memberinya daftar belanjaanku, lalu mulai mencari panci dan wajan yang tepat, menata meja terlebih dahulu, sebelum mandi dan berpakaian sebelum membantu Jungkook membawa belanjaan, dan akhirnya menyingsingkan lengan baju dan mulai memasak.

Dan, kali ini, ada kenangan tentang ibuku, tentu saja. Tentang dia yang mengingatkanku untuk selalu mengukur bumbu dengan hati-hati, untuk selalu ingat memberi garam pada air pasta, untuk tidak terburu-buru dan menikmati prosesnya.

Namun, alih-alih kesedihan, yang kurasakan adalah rasa syukur. Bahwa aku mendapat kesempatan untuk mempelajari hal-hal ini di sisinya. Dan, karena itu, suatu hari nanti aku bisa melakukan hal yang sama untuk anak-anakku.

Aku tidak bisa memberi tahumu pukul berapa saat aku mendengar suara letupan di lorong, atau bunyi dentuman aneh itu.

Aku terlalu asyik membayangkan duduk di seberang meja dari Jimin lagi, karena lebih banyak mengobrol seperti yang kami lakukan malam sebelumnya. Dan, mungkin, tidak berbicara untuk beberapa saat setelahnya.

Aku menegang karena gangguan aneh itu, tetapi ketika mendengar bunyi kode yang dimasukkan ke papan tombol, bahuku terasa rileks, membayangkan Jungkook atau Jimin yang mencoba membawa sesuatu ke dalam.

Aku bahkan tidak berpikir ada yang salah ketika tidak satu pun dari pria itu yang pindah ke apartemen itu.

Aku juga mengenal pria ini.

Aku bertemu dengannya di satu pesta yang pernah kuhadiri.

Dia mengintai di sekitar meja biliar saat aku berbicara dengan salah satu pria yang lebih muda dan lebih ekstrovert.

Dia memiliki nama yang lebih normal, sejauh yang kuingat, meskipun malam itu cukup basah oleh vodka dan bergelombang.

Minhwan?

Jihyun?

Tidak, Jihwan.

Ini Jihwan.

Sepupu Jimin.

Tidak seperti keluargaku, dan sebagian besar sindikat kejahatan terorganisasi yang kuketahui, tim Jimin tidak sepenuhnya terdiri dari saudara sedarah di puncak. Dia memiliki capo yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Seperti Yunjung dan Dongman, aku cukup yakin, Hoseok juga.

Semakin jauh kau masuk ke para prajurit dan rekan, tentu saja, ada lebih sedikit hubungan darah. Tapi itu juga berlaku untuk keluarga ku.

Jihwan adalah anggota keluarga yang sebenarnya.

Dan tiba-tiba aku merasa mungkin aku harus tahu lebih banyak tentang dia daripada yang ku ketahui.

Jimin telah memberi ku detail tentang masa kecilnya. Orang tuanya yang mengerikan, pamannya yang hampir sama mengerikannya. Tapi dia tidak pernah secara khusus menyebutkan sepupunya, meskipun dia mungkin memberi tahu saya tentang ayah sepupunya itu.

Love Him Like WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang