G'R ~22

191 12 3
                                    

Deru suara mesin mobil yang baru saja di matikan, menarik perhatian para santri yang berlalu-lalang di parkiran. Terlihat seorang wanita mungil nan cantik bergamis abu-abu turun dari mobil hitam yang terparkir.

"Ning ze."

"Wah, Ning ze mungil ternyata."

"Bisa ya, kirain ga sampe kakinya."

Nazeva tersenyum kaki mungil yang di balut sendal slop itu menyelusuri lapangan, semilir angin berhembus terlihat para dedaunan yang bergoyang diterpa angin yang menyejukkan.

Nazeva melangkahkan kakinya memasuki kawasan ndalem, canda tawa yang terlihat dari kedua wanita yang berbeda umur itu menarik perhatian Nazeva.

Ini nenek lampir ga pulang?buset tidur di mari?ck! Sungguh nenek ini mencari perhatian sekali. Masih pagi padahal, kenapa juga umi Nerima nih nenek nenek.

Nazeva melangkahkan kakinya mendekati kedua orang tersebut. "Assalamualaikum."

Suara yang mengalun lembut itu memasuki telinga kedua orang yang sibuk berbicara di teras rumah. Keduanya,langsung menatap nazeva yang baru datang sambil membawa kantong plastik ditanganya.

"Waalaikumsalam."

"Sana masuk, bantuin umi mu." Titah sang jiddah.

"Oh, enak banget ya menantunya sibuk di dapur sedangkan tamu sibuk berbicara disini. Bukanya mau bantuin."

"Kamu ngomong apa sih! Sarah itu tamu kamu kenapa sih."

"Oh tamu? Ck! Harus di perlukan kaya ratu?sungguh heran manusia jaman sekarang."

"Kamu-"

Nazeva melangkahkan kakinya memasuki rumah, mengabaikan kedua wanita yang ingin membalas ucapan. Tangan mungil itu meletakan kantong berisi makan dia atas meja, lalu berjalan menuju dapur.

Tercium aroma lezat dari SOP yang tengah di masak di atas kompor, Nazeva berjalan mendekati sang umi. "Assalamualaikum umi."

"Waalaikumsalam, kenapa lama nak? Kamu kemana. Umi khawatir."

"Tadi ze ke pasar dulu umi, itu ze beliin klepon untuk umi."

"Astaga nak, umi kira kamu kemana. Makanya tadi umi cepet cepet hubungin Rafa."

Nazeva memeluk lengan sang umi, membawanya menuju meja. Ia mengeluarkan klepon yang telah ia beli untuk sang umi.

"Umi coba dulu," ujar Nazeva memberikan klepon kepada sang umi.

"Enak nak, kamu beli di pasar yang biasa kita beli?"

"Iya dong, di tempat langganan kita."

"Ze, ada beli apa lagi nak?"

"Tadi sebenernya, ze beli banyak umi. Tapi karena tadi dijalan ze liat ada korban kecelakaan, ze kasih mereka untuk sarapan dulu."

"Astagfirullahal'adzim, ya Allah. Terus itu korbannya ada yang luka-luka?"

" Ngga ada umi, cuma luka ringan."

"Alhamdulillah ya Allah, udah di bawa kerumah sakit dek mereka?"

"Udah umi, soalnya tadi ada beberapa ambulance."

Saat sedang asik bercerita, pandangan Nazeva teralih ketika melihat jiddah dan Sarah berjalan menuju mereka.

"Kenapa duduk? Kenapa ga masak?" Ujar jiddah menatap keduanya.

"Lo kita mah sarapan dulu, terus kenapa harus umi?kan ada mba."

"Harusnya menantu yang masak, kenapa harus menyuruh mba."

Nazeva menatap jiddah sinis "menantu bukan pembantu, bukan hakikat seorang menantu mengurus rumah."

"Lagipula, kenapa harus umi kan jiddah bisa Sarah juga bisa. Jangan terlalu memanjakannya."

"Kamu-"

"Kenapa jiddah? Oh jiddah mau memperlakukan umi menjadi pembantu karena jiddah di perlakukan seperti itu? Sungguh miris."

Nazeva menatap jiddah sinis, ia mengalihkan pandangannya kepada Sarah yang hanya menunduk diam. Umi menggenggam tangan Nazeva untuk meredam emosi gadis itu.

"Stop ya jiddah, jika jiddah mau memperlakukan umi menjadi pembantu,apa jiddah mampu membayarnya?"

"Kamu itu masih kecil, belom tau apapun."

"Aku emang kecil,tapi aku bisa menghargai bukan seperti jiddah-"

"Sudah ze, jangan di lawan. Ayok kita pergi ke kamar umi saja." Umi segera menuntun Nazeva meninggalkan dapur.

Jiddah menatap kepergian mereka berdua sambil menghela nafas sungguh Rafa tidak salah memilih pasangan, dengan berani ia akan selalu melindungi mertuanya.

Umi menuntun Nazeva masuk kedalam kamar, Nazeva melangkah mendekati sofa. Ia mendudukkan dirinya dan memandang umi yang berada di atas kasur.

"Umi, jangan mau di perlukan seperti pembantu. Abah meratukan umi, sedangkan mereka melakukan umi seperti pelayan. Itu sangat tidak pantas umi, bagaimana perasaan Abah."

Umi hanya menundukkan kepalanya, yang di katakan Nazeva semuanya kebenaran. Suaminya memperlakukan dirinya dengan baik,tetapi kedatangan sang ibunda membuatnya harus melayani dirinya dan wanita yang di setujui itu.

"Maafkan umi dek, umi hanya ingin melayani ibu."

"Melayani boleh umi, asal mereka memperlakukan umi dengan baik. Jika tidak, jangan pernah melayani mereka."

"Tidak salah umi,jika wanita ingin menjalankan kodrat nya, tetapi jika hanya untuk di perlakukan rendah. Kalian harus melawan umi, tunduk pada kebenaran boleh. Tapi tunduk pada kezaliman tidak boleh."

Di dapur terlihat jiddah dan Sarah, Sarah melanjutkan masakan yang tertundah. Abah yang telah kembali dari pondok menatap heran kedua orang yang berada di dapur. Dengan langkah cepat menuju kamar.

Perhatian tertuju kepada istrinya yang sedang mengajarkan sang menantu mengaji. Abah melangkah dengan pelan mendekati mereka.

"Kalian di kamar?"

"Iya Abah, soalnya ze baru menyelamatkan umi dari penjajahan."

Abah mengangkat alisnya sebelah menatap Nazeva bingung "penjajahan?"

"Iya, umi tadi suruh masak. Eh mereka sedang asik berghibah ria di depan. Oh ze tidak terimalah."

"Astagfirullahal'adzim, jadi mereka masak karena kalian kabur."

Abah hanya menggeleng melihat Nazeva yang tersenyum sambil menarik turunkan alisny.

"Jiddah ini gimana lagi?" Ujar Sarah sambil menatap masakan.

"Coba kamu cicipi, kurang apa?"

" Sarah ga bisa masak jiddah. Jadi Sarah gatau."

Jiddah mengambil ahli masakan Sarah, sedangkan perempuan itu hanya menatap ia dengan bingung.




















Tbc....

Gus Rafa (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang