prolog

15.4K 314 4
                                    

Walau terlahir dari keluarga yang kebanyakan berprofesi dokter, aku tidak ada minat di bidang itu.

Ayahku seorang dokter spesialis saraf lalu Kakek dan Nenek dari pihak Bunda adalah spesialis bedah. Tante dan Omku juga tidak jauh beda, hanya beda dispesialisnya saja.

Mungkin, kalau saja Bunda juga seorang dokter, aku akan dipaksa untuk meneruskan profesi keluarga ini.

Bunda lebih memilih mengikuti cita-citanya menjadi presenter, ya meski dari cerita Bunda usahanya membujuk orang tuanya juga tidak mudah.

Dan kepada anaknya, Bunda pun membebaskan untuk mengejar mimpi masing-masing. Sementara Ayah, dia orang yang fleksibel jadi terserah.

Ditambah, kakakku Malik sudah mengikuti jejak Ayah, makanya keluargaku cukup tenang. Jika mengingatnya lagi, aku harus banyak berterima kasih pada Bunda dan Mas Malik. Mereka berdualah yang memuluskan langkahku.

Menjadi seorang beauty vlogger.

“Pokoknya kamu nggak boleh tinggal sendiri lagi!” tegas Bunda.

Soal passion, Bunda memang membebaskan. Tapi urusan menyangkut tentangku, Bunda sangat ketat dan tegas.

“Ya udah, Bunda temenin aku tinggal dikosan kalo gitu.”

“Seandainya Bunda nggak kerja,” dumel Bunda sambil memijit pelipisnya dan mondar-mandir di depanku.

Bahkan Ayah yang duduk di hadapanku pun cuman bisa diam tak berkutik menyaksikan Bunda marah dari tadi.

“Ini alasannya Bunda nggak izinin kamu kuliah jauh-jauh.” Bunda menghela napas.

Dibebaskan bukan berarti jalanku dulu mulus-mulus saja. Lulus SMA, Bunda mengizinkan tapi dengan satu syarat. Aku harus tetap kuliah dan mendapatkan gelar, dari jurusan apa pun.

Aku mengiyakan, tapi aku kembali mengalami kendala. Bunda maunya aku kuliah di Surabaya dan tetap tinggal bersama mereka tapi aku maunya di Jakarta. Sekalian memperluas pertemanan antar sesama beauty vlogger.

Tawar menawarku cukup alot waktu itu, untungnya aku berhasil membujuk Bunda. Dan lagi-lagi dengan syarat, Bunda yang mencarikan kosnya. Bahkan meminta si pemilik kos untuk menjagaku baik-baik.

Selain pasrah, memangnya aku bisa apa?

Sayangnya, di penghujung masa kuliahku, mendadak sebuah insiden menggemparkan keluargaku.

Kosanku yang katanya aman 24 jam disatroni maling. Ipadku lenyap, bahkan perempuan di sebelah kamarku terluka karena sempat melawan maling itu.

Beruntung, hari itu aku menginap di rumah salah satu temanku. Kalau tidak, mungkin aku juga akan jadi korban.

Itu kenapa, begitu tahu kabar itu, Bunda dan Ayah memaksaku untuk segera pulang. Dan di sinilah, aku dihakimi.

“Kan aku nggak kenapa-napa, Bun.” Aku berusaha menenangkan.

Tapi Ayah justru menggeleng samar. Sedetik kemudian, aku akhirnya paham kode Ayah. Bunda melirikku dengan mata setajam pisau.

Aku mengatup bibirku rapat-rapat dan menunduk.

Setelah cukup lama diam, aku mendengar helaan napas panjang Bunda. “Mika.”

Aku mengangkat kepala dan saat bersamaan Bunda akhirnya duduk di samping Ayah.

“Kamu masih ingat Danu?” tanya Bunda.

“Danu?” aku berusaha mengingat-ingat. “Mas Danu temennya Mas Malik?”

Bunda mengangguk.

“Mas Danu anaknya Dokter Ainun?”

Bunda mengangguk lagi.

“Ingat sih walaupun samar-samar,” gumamku. “Kenapa Bunda tiba-tiba bahas Mas Danu?”

“Danu ternyata kerja di Jakarta.”

Aku manggut-manggut meski dahiku mengernyit. Jadi, apa korelasi antara masalahku dan di mana laki-laki itu tinggal?

“Kamu tinggal sama dia, ya?”

“Hah?” sahutku dan Ayah kompak.

“Bun, Mas Danu kan cowok. Kok Bunda suruh aku tinggal sama dia sih!” protesku. “Kalau aku diapa-apain sama dia gimana?”

“Iya, sayang. Kamu tuh aneh.” Ayah ikut membelaku. “Anak kita ini sentuhan sama cowok aja takut, masa kamu suruh tinggal sama cowok.”

Aku mengangguk cepat, tanda setuju.

“Makanya, Bunda mau kalian nikah.”

“Hah!”

Ajari Aku BercintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang