delapan

6.6K 272 4
                                    

Mas Danu menciumku?!

Dia bahkan memiringkan kepala, membuat bibir kami benar-benar menempel sempurna. Dan bukan hanya menempel, bibir Mas Danu mulai bergerak. Rasanya.. basah.

Tubuhku membeku. Berbeda dengan tadi, kali ini dadaku sakit akibat jantungku yang berdetak terlalu kuat. Kenapa rasa ciumannya berbeda dengan tadi?

Aku meremas kemeja di bagian dada Mas Danu. Aku tidak bisa bernapas! Tapi Mas Danu tidak juga berhenti mengisap bibirku. Akhirnya aku mendorongnya setelah kehabisan napas.

Dengan rakus, aku bernapas melalui mulut sementara wajah Mas Danu tetap berada di depanku. Hanya berjarak beberapa senti. “M-mas, ngapain?” tanyaku tergagap.

Tangannya yang berada di tengkukku berpindah ke pipiku. Mas Danu mengusapnya dengan ibu jari. “Mika, satu yang harus kamu ingat. Nggak ada perempuan lain selain kamu,” jawab Mas Danu sambil menatapku dalam.

Aku melirik ke arah lain, tak sanggup menatap matanya. “Terus kenapa Mas nggak pernah sentuh aku. Maksudku, kayak pegangan tangan, pelukan, atau—”

“Mas takut, Mika,” potong Mas Danu.

Aku kembali menatapnya.

Mas Danu tersenyum lembut. “Kalo Mas sentuh kamu, aku bakal terus ingin lebih dari itu. Dari pegangan tangan, pelukan, ciuman, sentuh seluruh badan kamu, cium sem—”

“Mas!” Aku membekap mulut Mas Danu. Aku tidak sanggup mendengar kelanjutannya saking malunya. “Nggak usah dilanjutin.”

Mendengar pengakuan Mas Danu, aku jadi ingat perkataan Jihan waktu itu. Persis seperti yang Jihan kira.

Mas Danu menarik tanganku, menjauh dari mulutnya. “Biar kamu percaya. Biar kamu nggak ngira aku suka sama perempuan lain atau.. laki-laki.”

Aku meringis mengingat tuduhanku yang keterlaluan. “Maaf, Mas.”

Mas Danu menegakkan punggungnya lalu menarikku untuk duduk di kursi. Sementara Mas Danu berlutut di hadapanku. “Mas yang harusnya minta maaf. Gara-gara Mas nggak ngomong sama kamu dari awal, kamu jadi berpikir yang nggak-nggak. Bahkan bikin kamu sedih.”

Aku menunduk, menatap tangan kami yang saling bertaut di atas pahaku.

“Jadi Mas yang bikin kamu nangis?” tanya Mas Danu.

Aku mengangguk. “Tapi kan itu karena aku salah paham, Mas.”

“Mas merasa gagal jadi suami kamu. Baru beberapa bulan nikah, kamu udah nangis gara-gara aku.”

Aku menggeleng cepat. “Jangan mikir gitu, Mas nggak gagal kok. Kita cuman salah paham.”

“Tetep aja. Mas nggak suka lihat kamu nangis.”

“Aku nggak akan nangis lagi.”

“Mas boleh peluk kamu?” izin Mas Danu tiba-tiba.

Walau sempat terkejut, aku akhirnya mengangguk malu-malu. Sejak menikah, ini akan jadi pertama kalinya kami berpelukan. Mas Danu mencondongkan tubuhnya lalu membawaku ke dalam pelukannya.

Hangat.

Sebenarnya, aku suka. Tapi jantungku tidak terkontrol. Bukannya menikmati pelukan Mas Danu, aku justru sibuk mengatur napas. “Sebentar, Mas.” aku mendorong Mas Danu agar melepasku.

“Kenapa?” Mas Danu menatapku khawatir.

Aku memegang dadaku sembari mengembuskan napas panjang melalui mulut. “Jantung aku masih kaget.”

Kekhawatiran Mas Danu berubah jadi senyum lebar mendengar pengakuanku. Dengan sabar Mas Danu menungguku.

“Boleh dilanjut?” tanyanya saat aku mulai tenang.

“Boleh.”

Mas Danu kembali menyelimuti tubuhku dengan lengannya. Untuk pelukan kali ini, aku jauh lebih tenang. Sedikit demi sedikit, aku mulai menikmatinya. Maksudnya, perasaanku jadi lebih baik.

“Mika,” panggil Mas Danu masih tetap memelukku.

“Iya, Mas?”

“Berarti mulai hari, Mas boleh peluk kamu? Kapanpun?”

Aku tidak bisa menahan senyumku membayangkan mulai hari ini, Mas Danu akan sering memelukku. Mungkin, sebelum berangkat kerja. Atau sepulangnya kerja. Atau ketika kami tidur. “Boleh.”

Mas Danu mengeratkan pelukannya. Oh, tidak. Jantungku mulai lagi.

“Cium?”

Seketika, wajahku menghangat. “Emm, kening sama pipi boleh.”

“Bibir?” Mas Danu mengurai pelukan. “Tadi kita udah ciuman bibir. Kamu yang mulai malah.” Mas Danu mengingatkan.

“Aku cuman ikutin saran temen-temenku,” bantahku. “Mereka bilang aku harus mancing Mas biar tau Mas beneran nggak suka kontak fisik atau gimana.”

Mata Mas Danu memicing. “Jadi itu alasan temen-temen kamu sering main ke rumah?”

“Nggak!” kataku panik. Tanpa sadar aku membocorkan sumber saranku jika berhubungan dengannya. “Mas jangan salahin temen-temenku. Aku yang minta saran ke mereka kok.”

“Mas nggak ada salah-salahin temen kamu.” Mas Danu mencubit pipiku.

“Mereka baik tau, Mas. Mereka yang hibur aku pas overthinking sama kamu,” ungkapku jujur.

Mulai sekarang, aku harus belajar jujur dan mengungkap semua yang aku rasakan pada Mas Danu. Jika ada yang menganggu, aku harus menanyakan langsung.

Daripada ujung-ujungnya kami malah salah paham.

Untungnya kesalahpahaman ini cepat selesai dan tidak keluar ke mana-mana. Keluarga kami bisa heboh nanti. Apalagi Bunda dan Mama yang memang paling menginginkan pernikahan ini.

“Jadi, bibir belum boleh?” Mas Danu masih berusaha tawar menawar.

“Aku belum siap. Aku nggak tau ciuman. Tadi juga aku sampe nggak bisa napas. Orang kalo ciuman harus jago tahan napas, ya, Mas?”

Mas Danu tertawa. “Nggak, Mika.”

Aku mengerjapkan mata. Apa pertanyaanku salah?

“Pas ciuman kan hidung nggak ketutup, jadi masih bisa napas.” Mas Danu menjelaskan. “Kamu merasa nggak bisa napas, mungkin karena kaget.”

Aku mengangguk-angguk. “Gitu, ya?”

Menonton film di mana ada adegan tokohnya ciuman sih aku pernah. Tapi sejauh ini, bukan yang terlalu intens.

Cuman sekedar menempelkan bibir dan.. ya memang ada juga yang bibirnya menari-nari—sepertinya yang Mas Danu lakukan—tapi biasanya tidak kuperhatikan. Aku malu menonton pasangan yang sedang berciuman.

“Kamu harus banyak belajar.” Mas Danu mengusap pipiku dengan senyum yang belum meninggalkan wajahnya.

“Belajar dari mana? Ada tutorialnya?” tanyaku tertarik.

Mas Danu mengulum bibirnya, menahan senyum. “Mas yang ajarin kamu. Tahap demi tahap, sampai ke intinya.”

Ke intinya? Maksudnya..

Ajari Aku BercintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang