lima belas

8.1K 260 16
                                    

Sembuh dari sakit bukan berarti aku boleh beraktivitas seperti biasanya. Mas Danu masih membatasiku.

Contohnya, aku belum boleh membuat konten dan mengerjakan endorse yang masuk sebelumnya. Aku hanya boleh makan makanan yang dimasak Bi Sumi. Sementara jika kuliahku seharian penuh, aku harus membawa bekal dari rumah.

Dan satu lagi yang menurutku agak berlebihan.

“Mulai hari ini, saya ditugasin Pak Danu antar jemput Neng Mika,” jelas seorang laki-laki paruh baya yang menyambutku begitu keluar dari rumah.

Siang ini aku ada jadwal kuliah dan baru saja ingin memesan taksi online, namun urung ketika laki-laki asing kutemukan di luar. Laki-laki yang lebih cocok kusapa dengan sopan ini tersenyum dengan dua tangan terjalin di depan.

“Anterin saya?” tanyaku tidak yakin.

Bapak itu mengangguk.

Aku menggeser posisiku untuk melihat dengan jelas mobil yang terparkir di belakangnya. Itu jelas mobil baru. Kapan Mas Danu membelinya? Dan kenapa dia tidak bilang terlebih dulu tentang ini?

“Pak, saya telpon Mas Danu dulu, ya?”

“Iya, iya, Neng.” Bapak tadi melangkah menjauh dariku menuju mobil yang terparkir.

Aku menempelkan ponsel di telinga. Panggilan pertama, Mas Danu tidak mengangkatnya. Panggilan kedua barulah suaranya terdengar. “Mika?”

“Halo, Mas?”

“Kenapa, sayang?”

“Mas, ini supir yang di rumah, beneran Mas yang suruh?” tanyaku.

“Astaga! Maaf, ya, Mas lupa kasih tau kamu tadi pagi. Iya itu Pak Mahmud. Mulai hari ini, dia yang Mas tugasin antar jemput seandainya Mas nggak bisa.”

“Harus banget ya?” tanyaku dengan suara pelan, takut Pak Mahmud dengar.

“Kamu nggak suka?”

“Aku ngerasa nggak perlu aja, Mas. Lagian aku lebih sering berangkat pulang kuliah bareng temen.”

“Tapi kamu nggak bisa seterusnya ngerepotin mereka, kan?”

“Iya sih..”

“Cariin kamu supir juga saran dari Mama. Kalo sekarang kamu nolak, Mas yang diamuk sama Mama.”

Aku melirik Pak Mahmud yang tetap berdiri di dekat mobil. “Ya udah. Makasih, Mas.”

“Iya, sayang.”

Kalau itu saran dari Mama, aku juga tidak bisa menolak. Apalagi kalau Bunda sampai tahu, ponselku pasti langsung berdering dan ceramah Bunda akan memenuhi telingaku.

Aku menghampiri Pak Mahmud. “Pak, ayo berangkat.” Lalu masuk ke mobil.

“Iya, Neng.”

**

Malam ini, Mas Danu pulang agak terlambat. Sejam lalu Mas Danu yang menghubungiku agar tidak perlu menunggunya. Dibanding berpikir menunggunya, aku malah menganggap ini adalah sebuah kesempatan.

Mumpung Mas Danu tidak ada, jadi aku bebas.

Karena di kamar kurang nyaman, aku berpindah ke ruang kerja Mas Danu. Di sini, jauh lebih nyaman untukku mengedit kontenku. Ya setidaknya satu atau dua jam ke depan.

Yang penting jangan sampai ketahuan Mas Danu.

Aku meletakkan ponsel dan iPad-ku di meja kerjanya dan duduk. Sebelum memulai, mataku sempat menjelajah barang-barang yang ada di mejanya.

Ada beberapa tumpuk buku tebal terkait profesinya. Lalu monitor dan keyboard. Tumpukan kertas yang entah penting atau sebentar lagi akan dibuang. Dan dua bingkai foto.

Ajari Aku BercintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang