dua belas

5.3K 242 4
                                    

Tiba-tiba aku terbangun jam 3 dini hari. Perutku sakit. Badanku serasa lemas. Suhu tubuhku juga agak panas.

Di saat seperti ini, aku pasti langsung melaporkannya pada Ayah atau Bunda. Aku menoleh ke arah Mas Danu yang tertidur lelap. Rasanya tidak tega membangunkannya.

Akhirnya dengan hati-hati, aku turun dari tempat tidur. Mencari obat penurun panas di dalam laci lalu turun menuju dapur.

Mungkin aku hanya demam biasa, jadi cukup minum obat dan istirahat, demamnya akan turun.

Apalagi, kemarin, Mas Danu bilang akan ke Surabaya untuk mengisi seminar. Takutnya kalau tahu aku sakit, Mas Danu jadi berat untuk pergi.

Setelah meminum obat, aku kembali ke tempat tidur. Berharap pagi nanti, kondisiku membaik.

Sayangnya, tidak. Ketika aku terbangun karena suara air dari dalam kamar mandi, sebelah tanganku terangkat dan mengecek suhu di keningku. Belum turun, bahkan tubuhku malah makin lemas.

Saat Mas Danu keluar dari kamar mandi, aku buru-buru menutup kepalaku dengan selimut. Mungkin sekitar setengah jam kemudian, tempat tidur di sebelahku sedikit bergerak.

“Mika?”

Aku bergumam.

“Mas mau berangkat.”

“Iya.”

“Kamu nggak panas pake selimut sebadan?” Mas Danu menarik selimutku.

Namun aku menahannya agar tetap menutupi kepalaku. Kalau Mas Danu lihat mukaku, mungkin dia bakal tahu aku sakit. Apalagi kalau Mas Danu mencium keningku.

“Nggak,” gumamku malas. Seperti orang yang masih mengantuk.

“Ya udah, Mas berangkat sekarang. Nanti Mas kabarin kalo udah sampe sana. Ya?”

“Emm..”

Mas Danu mengusap kepalaku dari balik selimut sebelum pergi. Begitu aku mendengar bunyi pintu tertutup, aku menyingkirkan selimut dan bernapas lega.

Aku segera turun, mengintip dari jendela kamar. Mobil Mas Danu sudah meninggalkan pekarangan. Aku kembali mengambil obat dan menuju dapur.

Di meja makan, Mas Danu sudah menyiapkan sarapan untukku. Walau tidak nafsu makan, aku harus makan. Jika tidak kondisiku bisa makin parah. Setelah itu, aku kembali ke kamar.

Beruntung hari ini, tidak ada jadwal kuliah. Aku bisa beristirahat penuh, memulihkan kondisiku.

Kupikir begitu.

Tapi menjelang malam, suhu tubuhku justru meningkat. Belum lagi kepalaku yang berdenyut hebat. Untuk bangun pun aku merasa sulit. Seakan tulang-tulang di tubuhku telah menghilang.

Aku meraih ponselku. Tadinya aku bermaksud menghubungi Jihan, namun puluhan panggilan dan pesan dari Mas Danu mengalihkan niatku.

“Mika?”

Aku berdehem sebelum membalas, “Halo, Mas?”

“Habis dari mana, sayang? Kok kamu nggak ada kabar dari siang.”

“Mm.. tadi siang ketiduran.”

“Sampe malam?”

“Nggak, tadi aku beres-beres. Sekalian masak. Cari kesibukan gitu, Mas.”

“Bosen, ya? Kenapa nggak main sama temen kamu?”

“Lagi males keluar, Mas.”

“Kamu nggak apa-apa di rumah sendirian?” tanya Mas Danu.

Aku tersenyum. Mas Danu ini sebelas dua belas sama keluargaku. Masih menganggapku seperti anak kecil. “Mas, sebelum kita nikah pun, aku tinggal sendiri tau.”

Ajari Aku BercintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang