empat belas

5.3K 243 6
                                    

Sesi ceramah dan marah-marah Bunda sudah beres. Aku sangat kenyang setelahnya. Ya karena memang hanya aku yang kena marah Bunda.

Mas Danu sempat ingin membelaku, namun Bunda segera memintanya untuk diam. Sudah aku bilang sebelumnya, Bunda itu tidak terkalahkan.

Setelah Bunda, kini giliran Mama Ainun. Sama seperti Bunda, Mama juga hanya menyalahkan anaknya yaitu Mas Danu. Aku tidak menengahi, karena tahu hasilnya akan sama saja.

“Mika, Mama suapin, ya?” Mama mengambil alih posisi Mas Danu.

“Aku aja, Ma. Aku bisa kok,” tolakku halus.

Mama menggeleng. “Jangan, Mika. Biar Mama. Maaf ya Danu nggak bisa urus kamu baik-baik.”

“Mama jangan ngomong gitu. Mas Danu itu perhatian banget tau.”

“Kalo perhatian, kamu nggak sampe masuk rumah sakit.” Mama melirik Mas Danu yang sedang duduk di sofa bersama Bunda.

“Iya, jangan nyalahin Danu. Memang Mika itu banyak nggak cocok sama makanan. Makanya dari dulu, aku selalu ingetin dia hati-hati kalo makan di luar.” Bunda membela Mas Danu dan aku mengangguk.

“Tapi nggak akan separah ini seandainya Danu perhatiin Mika,” balas Mama.

“Mika yang sembunyiin sakitnya,” balas Bunda.

“Mama, aku udah lapar,” selaku. Aku harus ambil tindakan sebelum kedua ibu-ibu ini bertengkar betulan karena membela menantu masing-masing.

Mama yang seakan lupa segera menyuapiku. “Ah iya! Ayo, makan.”

Sambil mengunyah makanan dalam mulut, aku melirik Mas Danu lalu tersenyum penuh rasa bersalah padanya.

Menjelang sore, Bunda dan Mama pun pamit pulang. Karena masih ada pekerjaan yang menunggu mereka di sana.

Tapi kepulangan Bunda justru membuatku sedikit lega. Tidak ada lagi yang sibuk menceramahiku.

**

Aku baru selesai sarapan dan kali ini makananku habis. Masih dalam posisi duduk, sementara Mas Danu membereskan piringnya dari meja.

“Mas..”

“Iya, sayang?” Mas Danu meraih gelas yang telah kuteguk habis.

“Aku boleh mandi?” tanyaku.

“Gerah, ya?” Mas Danu menyentuh leherku dengan telapak tangannya, membuatku sedikit tersentak. “AC-nya kurang dingin?”

Aku menarik diri dari sentuhan Mas Danu lalu menggeleng. “Dingin, tapi badanku nggak enak keringetan dari kemarin.”

Dingin AC tidak mampu mencegah keringat yang keluar akibat dari demamku yang turun setelah mengonsumsi obat.

“Nggak bisa, sayang. Bisa-bisa kamu demam lagi. Tahan dulu, ya? Begitu pulang, kamu boleh mandi sepuasnya,” kata Mas Danu lembut.

Aku menunduk dan bergumam, “Aku maunya sekarang.”

“Belum boleh.”

Aku mengangguk lemah. Apa boleh buat? Dokter bilang belum boleh, ya sudah.

“Atau Mas lap-in badan kamu, mau?” Mas Danu memberi alternatif lain.

Aku mengangkat kepala dengan mata membulat. Usulnya sih boleh juga, tapi dari kalimatnya barusan, Mas Danu kan yang menawarkan diri?

Bukan menyuruhku menyeka badanku sendiri? Mana boleh kayak gitu? Kita baru sampai ditahap ciuman.

Masa aku harus telanjang di depan Mas Danu? Tanganku refleks menyilang di depan dada. “Mas yang…”

Ajari Aku BercintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang