satu

8.8K 376 18
                                    

“Mas, please bantuin aku bujukin Bunda.”

Sekarang, aku sedang tersambung melalui telepon dengan Mas Malik yang berada di Kendari. Selain kakakku ini, aku tidak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa.

“Nggak salah kamu minta tolong sama Mas? Ayah aja nggak bisa bujuk Bunda, apalagi aku.”

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Padahal aku berharap banyak pada Mas Malik. “Ya masa aku harus nikah! Sama kenalan Mas pula.”

“Saran Mas mending kamu nyerah aja bujuk Bunda. Kamu tau sendiri lah hasilnya.”

Bunda tidak akan mengubah keputusannya. Ya aku tahu itu. Aku, Ayah, dan Mas Malik, sangat tahu hal itu. Sejak dulu, jika Bunda telah membulatkan satu keputusan, maka keputusan itu tidak akan berubah.

Tapi kali ini, aku tidak mau menyerah begitu saja. Urusan ini menyangkut hidupku dalam jangka panjang.

“Emangnya Mas nggak masalah aku nikah sama Mas Danu?” tanyaku memelas.

“Sebenarnya agak aneh sih. Karena Mas temenan sama dia.”

Aku menghela napas.

“Oh! Atau gini aja, dek. Nanti Mas hubungin Danu, siapa tau kan dia juga nggak mau dijodohin. Jadi kalian bisa sepakat nentang,” saran Mas Malik.

Aku mengembuskan napas lega. Semangatku yang sebelumnya telah hilang kini kembali lagi. Aku masih punya harapan! “Makasih, Mas. Kamu emang penyelamatku.”

“Iya, makanya kamu buruan lulus, biar Ayah Bunda nggak khawatir lagi.”

Yang keluargaku tahu, begitu lulus aku akan pulang ke Surabaya dan tinggal lagi bersama orang tua. Tapi sejujurnya, aku punya rencana lain. Yaitu menetap di Jakarta. Namun untuk saat ini, aku tidak akan menambah masalah.

Urusan itu biar aku simpan dulu, nanti begitu Bunda tenang barulah aku bernegosiasi.

“Iya, Mas.”

“Udah, ya? Mas mau makan.”

Aku melirik jam dinding di kamarku. Jam empat sore. Pasti Mas Malik baru sempat makan siang.

Terkadang, aku prihatin dengan Mas Malik. Dia tinggal jauh dari keluarga, ditambah lagi pekerjaannya yang membutuhkannya tidak kenal waktu. Terlambat makan sudah menjadi kebiasaannya.

Mau diingatkan makan tepat waktu juga susah. Karena itu, aku cuman bisa berdoa semoga Mas Malik selalu diberi kesehatan.

“Yang banyak makannya. Bye, Mas!”

**

Keesokan harinya, Mas Malik menghubungiku. Dia bilang, sudah bicara sama Mas Danu. Tapi laki-laki itu malah minta bertemu langsung denganku dan membahasnya. Karena kebetulan laki-laki itu pulang ke Surabaya.

Tanpa pikir panjang, aku mengiyakan.

Hari itu juga, aku menghubungi Mas Danu untuk menentukan waktu dan tempat bertemunya. Dan dengan catatan, orang tua kami tidak ada yang boleh tahu.

Takutnya kalau mereka tahu kami bertemu, mereka malah mengira kami setuju dijodohkan dan sedang dalam tahap saling mengenal.

“Mika?”

Berhenti menyeruput minuman, aku mendongak.

Di hadapanku, berdiri seorang laki-laki tampan. Garis rahang tegas dan bersih tanpa rambut, alis berantakan, hidung yang sesuai dengan proporsi wajahnya, dan terakhir rambutnya yang jatuh menutupi dahinya.

Ingatan tentang Mas Danu memang samar. Karena itu sudah sangat lama, tatap muka kami juga termasuk sebentar. Entah, atau mungkin aku yang tidak terlalu memerhatikannya waktu itu.

Ajari Aku BercintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang