tiga belas

5.5K 238 4
                                    

Mas Danu tertidur di sebelahku saat aku terbangun. Dia terlelap meski tubuhnya masih terbalut kemeja dan celana bahan. Satu tangannya dijadikan bantal dan satunya lagi memeluk perutku.

Aku mengembuskan napas panjang karena jantungku cukup terkejut melihat posisi tangannya.

Padahal Mas Danu sudah cukup sering memeluk, mencium kening atau pipiku, tapi reaksi tubuhku tidak berubah banyak.

Sentuhannya selalu membuatku berdebar hebat.

“Mika.”

Aku buru-buru menoleh. Mas Danu sudah bangun. “Mas.”

Mas Danu mendekat ke posisiku dengan menumpukan siku kanannya. Punggung tangannya lalu mendarat di dahiku. “Demamnya udah turun. Masih pusing?”

“Sedikit,” jawabku tanpa menatapnya.

Sebenarnya sejak semalam, aku takut kalau demamku belum reda ketika Mas Danu pulang. Takut dia marah karena aku menyembunyikan sakitku darinya.

Sekarang, malah sampai masuk rumah sakit. Ketakutanku makin bertambah.

Namun yang kulihat sekarang, Mas Danu tidak tampak akan marah sama sekali. Dia tetap menatapku seperti biasa.

Mas Danu mencium keningku. “Kenapa kamu nggak kasih tau Mas? Suami kamu ini dokter loh.”

Nada bicaranya pun sama. Tidak meninggi seperti ingin marah. Untuk sesaat aku merasa lega.

“Mas kan ada seminar,” kataku.

“Mas bisa titipin kamu di rumah sakit, sayang. Di sini, ada banyak kenalan Mas yang nanganin kamu.” Mas Danu menghela napas. “Sia-sia rasanya aku kuliah kedokteran bertahun-tahun kalo tau istri aku sakit aja nggak.”

“Ihh, jangan ngomong gitu. Aku yang nggak kasih tau.”

Mas Danu mencium pipiku. “Harusnya aku lebih perhatiin kamu.”

“Maaf, Mas,” ucapku penuh sesal. Kalau tahu Mas Danu malah merasa bersalah begini, kayaknya mending Mas Danu marah-marah ke aku.

Mas Danu mengangguk. “Lain kali jangan diulangin.”

“Iya, Mas.”

“Oh iya, Bunda sama Mama mau ke sini. Mungkin sore, mereka sampe.”

Informasi yang tiba-tiba Mas Danu katakan membuatku jauh lebih berdebar dari pelukannya. Mama mertua sih tidak masalah, tapi Bunda..

Astaga!

Habislah aku.

“Mas kasih tau Mama?” tanyaku.

Mas Danu menggeleng. “Kayaknya dari Bunda.”

Aku terdiam. Di kepalaku, skenario kemarahan Bunda sudah terputar jelas. Sudah pasti aku kewalahan.

“Mas harus siap diceramahin sama mereka,” kata Mas Danu.

Giliranku merasa bersalah. “Biar aku yang belain, Mas.”

“Nggak usah. Emang Mas yang salah kok.”

Aku menggeleng. “Emangnya aku belum boleh pulang?”

“Demam kamu masih naik turun.”

“Jadi belum boleh?”

“Belum, sayang.”

“Ayah nggak ikut?” tanyaku. Kalau ada Ayah, Bunda ada yang menenangkan. Atau setidaknya Ayah jadi tamengku.

“Ayah sama Papa nggak ikut,” jawab Mas Danu. Aku tidak punya harapan lagi.

“Kan ada Mas yang belain kamu.” Mas Danu berusaha menenangkanku. Lalu Mas Danu turun dari ranjang dan merapikan selimutku.

Ajari Aku BercintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang