Seminggu telah berlalu sejak aku bertemu dengan Mas Danu.
Dan dalam jangka waktu itu pula, aku sudah kembali ke Jakarta. Bunda mengizinkanku namun aku harus keluar dari kos lamaku dan tinggal di apartemen studio yang dipilihkan Bunda.
Perlu digaris bawahi, aku tidak berhasil membujuk Bunda.
Keikhlasannya melepasku adalah karena Mas Danu. Pada akhirnya aku mengaku akan mengenal Mas Danu terlebih dulu. Dan meminta Bunda untuk tidak ikut campur dengan apa pun keputusanku nanti.
Tidak kukira Bunda dengan percaya diri mengatakan aku pasti menerima Mas Danu.
Dan hari ini akan menjadi pertemuan keduaku dengan Mas Danu. Semalam, Mas Danu menghubungiku, menanyakan jadwal kuliahku. Setelah kujawab, Mas Danu langsung menawarkan diri mengantarku.
Hampir lima menit menunggu, akhirnya sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku. Mas Danu turun dari sana dengan tersenyum hingga lesung pipinya terlihat.
“Hai!” Mas Danu berlari kecil menghampiriku.
“Hai, Mas,” balasku kikuk.
“Kenapa nunggu di sini?”
“Nggak enak bikin Mas nunggu.”
“Lain kali nunggu di atas aja, aku langsung hubungin begitu sampe.”
Aku hanya bisa mengangguk.
“Ayo berangkat.”
Mas Danu membukakan pintu untukku, memastikan aku telah duduk nyaman, lalu menutupnya.
Selama dalam perjalanan, aku cuman bisa diam. Bahkan untuk sekedar menengok ke arah Mas Danu pun aku tidak berani. Aku terlalu gugup jika lama-lama menatapnya.
Tapi sekarang aku malah gugup setengah mati. Dan itu karena Mas Danu yang berulang kali melirikku.
Aku bisa melihatnya dari sudut mataku dan itu sangat jelas. Bukan karena aku kepedean.
Akhirnya aku tidak tahan dan ikut melirik Mas Danu. “Kenapa, Mas?”
“Kamu kalo ke kampus nggak pake make up?” tanyanya hati-hati.
“Emm?”
“Kamu kan suka bikin konten make up-make up gitu.”
Aku terkejut.
Melihat pekerjaannya yang menyita banyak waktu dan laki-laki tipe Mas Danu seperti ini, aku agak kaget dia tahu soal apa yang aku lakukan.
“Oh, itu cuman pas ngonten, acara formal atau ada event, Mas. Kalo ke kampus pake sih, tapi tipis-tipis aja. Mas kok tau aku suka ngonten?” tanyaku basa-basi.
“Aku suka nonton,” aku Mas Danu.
Dia bahkan menontonnya. Dan kata suka berarti Mas Danu bukan hanya menonton satu atau dua video, kan?
Aku tersipu dengan pengakuannya. “Makasih.”
“Kamu nggak ada niat follback?” Pertanyaan itu terlontar bersamaan dengan mobil yang berhenti. Sepertinya lampu merah, aku juga tidak mau tahu.
Soalnya sekarang, lagi-lagi aku terkejut. Apalagi Mas Danu menoleh ke arahku dengan sempurna karena tidak perlu memerhatikan jalan raya.
Aku mengangkat ponsel yang sejak tadi kupegang lalu mengetuk satu aplikasi di sana. “N-nama akun Mas apa?”
Mas Danu tersenyum sebelum meraih ponselku. Mencari akunnya di sana dan menyerahkannya kembali.
@danuramdanu Itu namanya. Mataku bergerak cepat memerhatikan informasi di dalam akunnya. Tapi aku tidak menemukan banyak hal. Fotonya cuman ada empat.
Following hanya seratusan sementara followers ada sekitar 500an. Dan akun private. Sepertinya Mas Danu bukan tipe orang yang senang berselancar di dunia maya jika ada waktu senggang.
“Udah,” kataku sambil menunjukkan layar ponsel padanya. Tinggal menunggu konfirmasi dari Mas Danu.
Mas Danu mengangguk lalu kembali menjalankan mobilnya.
Sisa perjalanan menuju kampus, Mas Danu tidak berhenti bertanya banyak hal padaku. Mulai dari menanyakan orang tuaku, hal-hal yang berkaitan dengan apa yang kusuka, dan bagaimana kehidupan kampusku sejauh ini.
“Mika, kuliahnya selesai jam berapa?” tanya Mas Danu begitu mobilnya berhenti di parkiran fakultasku.
Aku membuka sabuk pengaman dengan perlahan. “Sore, Mas. Itu pun kalo dosennya masuk.”
Mas Danu mengangguk-angguk. “Kabarin kalo kamu udah selesai, siapa tau aku bisa jemput.”
“Nggak usah, Mas.” Aku mengibas-ngibaskan kedua tanganku. “Aku biasanya pulang bareng temen. Nggak enak juga ngerepotin Mas lagi.”
Selain ketiga temanku—Jihan, Gita, dan Sarah—aku juga punya satu teman laki-laki yang lumayan dekat, Angga. Karena kosanku dan rumahnya searah, kami sering pulang kampus bersama.
Jadi dari pada Mas Danu repot-repot start dari rumah sakit hanya untuk menjemputku, mending tidak usah.
“Kamu kan udah pindah.”
Empat kata yang diucapkan Mas Danu langsung membuatku membatu. Astaga! Bisa-bisanya aku lupa hal itu. “Oh iya.”
Tapi tunggu, kalau dipikir-pikir, apartemenku dan rumah Mas Danu searah. Bahkan bisa dibilang dekat. Cuman sekitar 15 menit. Kenapa aku jadi curiga Bunda sengaja mencari apartemen yang memang dekat rumah Mas Danu, ya.
“Nggak apa-apa, sekalian aku temenin cari iPad baru. iPad kamu hilang, kan?”
Aku mengangguk.
Pasti Mas Danu tahu dari Bunda. Atau dari mamanya—yang mendapat informasi dari Bunda.
“Setelah itu kita bisa makan malam bareng. Oke?”
“Oke,” jawabku seakan tak punya pilihan lain. Kayaknya aku betulan dihipnotis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Bercinta
RomanceSebagai perempuan yang dijaga ketat oleh keluarganya, Mika tumbuh menjadi perempuan yang tak tahu apa-apa soal laki-laki. Bahkan soal percintaan sekali pun. Dan ketika Mika akhirnya menikah dengan Danu, Mika seolah buta arah. Namun Danu sebagai suam...