lima

7.1K 270 3
                                    

Terhitung, sudah hampir sebulan aku dan Mas Danu melakukan pendekatan. Dan sejauh ini, aku tidak menemukan satu atau dua hal yang tidak kusukai dari Mas Danu.

Justru, aku mulai menyukainya. Bukan hanya karena fisiknya, tapi juga pribadinya. Di saat seperti ini, aku jadi ingat kata-kata Bunda. Tentang kepercayaannya bahwa aku akan menerima Mas Danu.

Ya mau bagaimana lagi? Pesonanya memang sulit ditolak. Tapi bukan berarti aku sudah memantapkan diri untuk menikah dengannya. Masih ada pertimbangan lain yang harus kupikirkan matang-matang.

Pas sekali, orang yang sedang kupikirkan kini menghubungiku. Konten yang sementara kuedit, kusisihkan terlebih dulu lalu mengangkat panggilan dari Mas Danu. “Halo?”

“Mika, aku ada di depan apartemen kamu.”

Aku melompat turun dari tempat tidur. “Hah? Ngapain, Mas?”

“Kamu turun aja dulu.”

Sambungan telepon segera kumatikan. Aku bergegas mencari sweater untuk menutupi baju tidur tipisku lalu keluar dari apartemenku. Sesampainya di lobi, aku nyaris berlari untuk menghampirinya.

“Mas Danu!” panggilku begitu melihatnya tengah bersandar di badan mobilnya. Dilihat dari pakaiannya yang sedikit kusut, sepertinya Mas Danu baru saja pulang dari rumah sakit.

“Kenapa lari-lari?” Mas Danu ikut menghampiriku.

“Takut bikin Mas nunggu. Mas ngapain ke sini? Dari tadi? Kok nggak bilang-bilang?” tanyaku sembari mengatur napas.

Mas Danu tersenyum. “Mas mesti jawab yang mana dulu?”

“Jawab berurutan.”

Mas Danu menyodorkan makanan yang dibawanya. “Aku bawain kamu makanan. Baru sampe. Kalo aku bilang, nanti kamu nolak,” jawabnya berurutan.

“Pasti nolak lah, Mas udah baik banget sama aku.” Aku menerima makanan yang dibawanya.

“Bunda kamu pernah bilang, kamu suka lupa makan.” Mas Danu menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku. “Makanya aku bawain.”

Keningku mengerut. “Bunda? Mas sering telponan sama Bundaku?”

“Nggak sering, tapi sekali telponan bisa lama banget.”

Pantas saja Bunda tidak pernah tanya-tanya soal hubunganku dan Mas Danu. Tahunya Bunda punya informan lain, yang seratus persen siap menjawab pertanyaannya. “Lain kali Mas boong aja ada kerjaan gitu, biar Bunda nggak lama-lama,” saranku.

“Lagian Bunda kamu hubungi Mas pas lagi senggang, jadi nggak apa-apa.”

“Tetep aja, itu ganggu waktu istirahat Mas,” gumamku sambil mengalihkan pandangan.

“Emm? Kamu bilang apa barusan?”

“Nggak, makasih makanannya, Mas. Pas banget aku belum makan malam. Mas udah makan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Mas Danu mengangguk.

Kurasa, urusan kami sudah selesai. Aku ingin cepat-cepat naik karena celana berbahan satin sepanjang lutut yang kukenakan ini sedikit tidak nyaman untuk dipertontonkan ke orang-orang yang berlalu lalang.

Tapi aku tidak bisa pamit, Mas Danu terus menatapku. Seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan. “Kenapa, Mas?” tanyaku pada akhirnya.

Mas Danu mengembuskan napas panjang setelah diam beberapa detik. “Mika, sebenarnya aku ke sini bukan cuman mau bawain makanan. Tapi ada yang mau tanyain.”

Aku mengangguk. “Tanya apa?”

“Gimana perasaan kamu sekarang? Perasaan kamu ke aku.”

Tenggorokanku sontak tercekat. Aku memang mempersilakannya bertanya, namun pertanyaannya terlalu mengejutkan dan tiba-tiba bagiku.

Aku tidak punya persiapan apa-apa untuk menjawabnya. Terlebih, aku harus menjawabnya sambil bertatapan muka begini dengan Mas Danu.

Aku membasahi bibirku dan mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Aku butuh sedikit waktu menenangkan diri dan merangkai kata untuk menjawabnya.

“Oke. Mas kasih pilihan ke kamu,” sahut Mas Danu, membuatku kembali menatapnya. “A, kamu tetap nggak tertarik. B, kamu mulai tertarik. C, kamu akhirnya juga suka sama aku. Atau D, kamu udah yakin nikah sama aku.”

“B,” jawabku malu. Sejujurnya, aku bahkan sudah ada diopsi C, tapi aku terlalu malu mengungkapkannya.

Senyum Mas Danu merekah. “Seberapa banyak?”

“Nggak tau,” jawabku pelan.

“Berapa persen?”

“70%, mungkin.”

“Akhirnya lega!” Mas Danu mengembuskan napas lagi, dengan senyum yang belum memudar. “Kamu bisa naik sekarang.”

Aku mengangguk. “Makasih, Mas,” pamitku dan langsung melangkah cepat meninggalkannya. Jika semakin lama di dekat Mas Danu, aku takut jantungku meledak.

**

“Gue mau tau pendapat kalian tentang Mas Danu.”

Angga yang duduk di balik kemudi dan ketiga sahabatku yang duduk di belakang, kompak menatapku. Mereka saling bertukar tatap, hening sejenak, sebelum kembali memusatkan perhatian padaku.

Gita sedikit mencondongkan tubuhku ke arahku. “Menurut gue, lo nggak usah nikah sama dia biar gue bisa deketin Mas Danu,” kata Gita tanpa malu.

Aku hanya bisa tersenyum mendengar jawaban Gita.

“Emang Mas Danu mau sama lo?” serang Sarah yang duduk di sebelahnya.

Gita menjentikkan jari. “Itu dia masalahnya.”

“Mika, mending kalian cepet-cepet nikah sebelum nih orang nikung,” kata Sarah sambil menunjuk Gita. “Lagian apa lagi sih yang kurang dari Mas Danu?”

“Plus, lo yang bilang sendiri udah suka sama Mas Danu,” tambah Jihan. “Keluarga lo juga sangat menerima Mas Danu.”

Singkatnya, tidak ada alasan menolak Mas Danu. Aku akui, Mas Danu adalah sosok pasangan idaman. Pasangan yang aku impi-impikan. Dan seperti kata Jihan, keluargaku menerima Mas Danu. Begitu pun keluarganya, yang sangat menyambutku.

Halangan restu keluarga adalah salah satu yang sulit dihadapi beberapa pasangan. Sementara bersama Mas Danu, kami berhasil melewatinya dengan mudah.

“Angga, menurut lo gimana?” tanyaku pada Angga karena sejak tadi dia hanya diam.

Angga melirikku sekilas. “Kalo gue, jangan buru-buru. Lo masih muda. Banyak hal yang mau lakuin, kan?”

“Mika pernah bilang, Mas Danu nggak akan halangin Mika buat ngejar impiannya. Masalah anak pun, Mas Danu nyerahin keputusan ke Mika,” sela Jihan sebelum aku menjawabnya sendiri.

Aku mengangguk. Mas Danu paham aku masih muda dan masih banyak hal yang tentu ingin aku lakukan. Soal anak, ya itu karena Mas Danu tahu bagaimana aku jika dihadapkan dengan laki-laki.

Mas Danu tahu selama hidup, aku tidak pernah sekalipun berhubungan dengan laki-laki. Mentok cuman sekedar teman seperti Angga. Dan itu pun, aku tidak pernah lebih dari bergandengan tangan.

Makanya, Mas Danu tidak ingin memaksa. Dia bilang, siap menungguku belajar terlebih dulu menerimanya sebagai pasangan.

“Gue kan cuman kasih pendapat,” kata Angga.

Jihan menepuk bahuku. “Mika, ikuti kata hatimu, sayang.”

Kalau hatiku yang bicara, jawabannya pasti iya.

Ajari Aku BercintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang