“Jadi gimana negosiasinya?”
Aku membeku di depan meja riasku. Memandangi diriku sendiri dengan pikiran melayang ke waktu beberapa jam yang lalu.
Percakapanku dengan Mas Danu masih terus terngiang di telingaku. Semuanya, tanpa terlewat satu kata pun.
“Nggak tau, Han,” kataku.
Ponsel yang kuletakkan di meja kembali bersuara. “Nggak tau maksudnya? Lo kenapa sih? Dari tadi kita ngobrol, lo nggak pernah nyambung.”
Aku mengangguk setuju. Bahkan aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi padaku. “Iya, gue juga ngerasa gitu.”
“Apa sih?”
“Han, gue tiba-tiba bimbang.” Aku memandangi ponselku, menunggu balasan Jihan.
“Bimbang sama cowok yang dijodohin sama lo? Dia ngapain sama bikin lo bimbang? Padahal kemarin lo kekeh nggak mau nikah sama dia apa pun yang terjadi.”
Itu dia permasalahannya. Bagaimana bisa aku melupakan segala rangkaian kata dan penolakan yang kusiapkan baik-baik sebelum berangkat menemuinya?
Apa yang laki-laki itu lakukan padaku?
Rencananya begitu kami bertemu, aku akan langsung mengungkapkan maksud dan tujuanku. Setelah itu, tanpa basa-basi aku akan pamit.
Justru yang terjadi, aku malah duduk diam. Ketika Mas Danu bertanya ini itu, aku dengan patuhnya menjawab.
“Kayaknya gue dihipnotis.”
Jihan menghela napas di ujung sana. “Nggak ada orang yang dihipnotis sadar dirinya dihipnotis.”
“Dia ganteng banget, Han.” Bahkan mulutku pun tak bisa berbohong. Jujur saja, wajahnya masih terbayang-bayang sampai sekarang.
Jihan menghela napas lagi. “Itu bukan dihipnotis namanya!”
“Gue terhipnotis sama kegantengannya,” ungkapku jujur.
“Terus? Lo akhirnya mau nikah sama dia?” tanya Jihan.
“Gue belum bilang mau.”
“Wait, wait! Maksudnya apa nih?” Intonasi suara Jihan meninggi.
Aku merapikan posisi dudukku, mengembuskan napas panjang, lalu menjelaskan. “Ternyata Mas Danu yang minta mamanya buat dikenalin sama gue. Terus tadi, dia bilang kenapa kita nggak saling kenal aja dulu sebelum mutusin mau lanjut atau nggak.”
“Hah!” Jihan berteriak. Aku sampai menjauh dan menutup kupingku. “Dia suka sama lo gitu? Terus, terus, lo jawab apa?” tanya Jihan bersemangat.
“Ya itu, gue bilang mau dipikirin dulu,” jawabku nyaris berbisik.
Jihan tertawa puas di sana. Entah apa yang dia tertawakan. Tingkahku yang plin-plan ataukah kejutan yang barusan kuterima.
“Gantengan mana, Mas Danu lo itu atau pacar gue?” tanya Jihan setelah tawanya reda.
Kedua wajah laki-laki itu langsung muncul di kepalaku. Pacar Jihan memang tampan, tapi menurutku dia lebih menjurus ke cute dan segar.
Sementara Mas Danu, memancarkan aura dewasa dan berkarisma. Membuat siapa pun ingin berlindung di balik punggung lebarnya. Termasuk aku.
“Mas Danu,” jawabku malu-malu.
Jihan terbahak lagi di seberang sana. “Gue harus kabarin anak-anak. Biar mereka siap-siap jadi bridesmaid.”
“Eh!” Aku panik. “Gue belum bilang mau!”
“Eh, gini ya, anak polos, baru ketemu sekali aja tuh cowok berhasil bikin lo berubah pikiran. Gimana kalo saling kenal dan makin sering ketemu? Yang ada bukan dia lagi yang ngebet pengen nikah, tapi elo.”
Pipiku menghangat lagi. Aku menangkup pipiku menggunakan kedua tanganku. Jihan ada benarnya. Hatiku ini terlalu mudah dicuri.
Apa aku tolak saja usul Mas Danu? Biar aku tidak semakin terpesona. Tapi sisi lain, aku merasa sayang jika hanya bertemu sekali dan kembali menjadi asing satu sama lain.
“Tapi gue masih muda, Han.”
“Nah, kan! Alasan lo nggak mau nikah aja udah berubah.”
Aku mengernyit. Memangnya apa alasanku sebelumnya?
Setelah mengingatnya, mataku membelalak kaget. Mendadak aku tidak mengenal diriku sendiri. Sepertinya, aku memang dihipnotis. “Gue mesti apa, Han?”
Jihan memberi jeda sejenak. “Gini deh, gue kasih pendapat menurut pandangan gue, ya. Kalo dari Mas Danu, gue rasa dia emang lebih dari kata siap buat nikah. Dari segi pemikiran, dia udah masuk usia matang lah. Pekerjaan juga oke. Kalo pun kalian mendadak kesulitan masalah duit, ada keluarganya yang siap backing kalian. Secara dia anak satu-satunya. Soal fisik, lo udah approve.”
Aku mengangguk untuk kalimat terakhir.
“Nah, permasalahannya ada di elo. Siap nggak nikah? Soalnya nikah bukan cuman masalah ena-ena doang.”
“Hah!” Aku menengok ke arah pintu kamarku yang terkunci. Takut ada yang mendengarnya. “Gue nggak siap sex sama cowok, Han,” kataku panik.
“Ya udah nggak usah nikah.”
“Tapi—”
“Lo kebanyakan tapinya,” sela Jihan. “Sebenarnya lo mau, kan?”
“Fifty-fifty.”
“Mending lo pikirin baik-baik atau terserah mungkin lo mau kenalan dulu sama dia. Pilihannya, balik lagi ke elo.”
“Thank’s, Han,” ucapku tulus.
Di antara ketiga temanku, Jihan memang yang paling dewasa. Makanya aku suka curhat dan meminta pendapat darinya. Jihan tidak akan memihak hanya karena aku temannya.
“Ya udah, gue mau quality time sama cowok gue. Dia udah ngambek tuh gue anggurin dari tadi.”
Aku tersenyum membayangkan pacar Jihan yang cemberut di sebelahnya. “Sorry.”
“It’s oke. Eh, nanti kirimin gue fotonya Mas Danu. Gue mau lihat tampang cowok yang berhasil bikin temen gue yang lugu polos ini terpesona.”
“Oke.”
Karena tidak ingin mengganggu, jadi aku tidak langsung mengirimkan foto Mas Danu yang kuambil dari foto profilnya.
Aku membersihkan tubuh terlebih dulu lalu mengirimkannya pada Jihan. Mungkin, tidak sampai semenit, aku segera mendapat balasan dari Jihan.
Gila! Ganteng banget weh! Nikahin cepet, sebelum dia dipelet cewek lain, Mik!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Bercinta
RomanceSebagai perempuan yang dijaga ketat oleh keluarganya, Mika tumbuh menjadi perempuan yang tak tahu apa-apa soal laki-laki. Bahkan soal percintaan sekali pun. Dan ketika Mika akhirnya menikah dengan Danu, Mika seolah buta arah. Namun Danu sebagai suam...