Lima bulan kemudian.
“Dia nggak pernah nyentuh lo?” tanya Jihan kaget.
Aku mengangguk.
“Pegangan tangan?” tanya Jihan lagi.
“Nggak pernah. Terakhir ya pas masang cincin sama cium kening. Itu doang,” jawabku.
“Padahal dia yang suka banget sama lo. Masa dia nggak pernah sange lihat istrinya sendiri.” Gita memerhatikan tubuhku dari atas sampai bawah. “Tete lo juga gede kok.”
Kedua tanganku secara otomatis menyilang di depan, menyembunyikan bagian dadaku. Tapi pandangan Gita tak kunjung beralih, makanya aku meraih bantal kursi dan menutupinya.
Sekarang, mereka berada di rumahku. Rumahku dan Mas Danu.
Dua bulan lalu, kami akhirnya resmi menjadi sepasang suami istri. Ya, aku kalah dan merelakan diriku yang katanya masih muda ini untuk menjadi istrinya.
Ngomong-ngomong soal pernikahan, dari lamaran hingga resepsi, aku tidak terlalu ambil bagian dalam mempersiapkan. Aku Cuma tahu beres.
Bunda dan Mama Mas Danu yang mengurus segalanya. Mereka hanya menanyakan konsep seperti apa yang aku inginkan, lalu sisanya aku tinggal menunggu.
Kuliahku bahkan tidak terganggu sedikit pun. Begitu pun Mas Danu, pekerjaannya tetap berjalan seperti biasanya.
Karena itulah, banyak yang terkejut ketika aku dan Mas Danu menyebar undangan.
Aku tidak tahu, tapi sepertinya mungkin ada bisik-bisik yang berpikir tidak-tidak tentang pernikahanku yang terkesan buru-buru.
Padahal sebenarnya ada dua ibu-ibu yang repot setengah mati selama beberapa bulan. Dan usaha mereka sesuai dengan apa yang terlihat diacara resepsi.
Mama mertuaku menggelar resepsi besar-besaran untuk anak semata wayangnya. Dan Bunda pun agaknya tidak keberatan, malah mendukung.
Belum lagi tamu yang tidak ada habisnya. Mulai dari kenalan kakek-nenekku, Ayah dan Bunda yang tak kalah banyak pula, kenalan dari pihak keluarga Mas Danu, kolega Mas Danu, dan masih banyak lagi yang tak kukenal sama sekali.
Jika mengingatnya kembali, rasanya kedua kakinya langsung terasa nyeri. Cukup sekali aku merasakannya.
“Tapi Mas Danu tau kan lo nggak pernah pegang-pegangan sama cowok?” tanya Jihan.
Aku mengangguk lagi.
Jihan mengerutkan kening. “Jangan-jangan dia nggak mau lo takut makanya belum diapa-apain.”
“Han, suaminya itu cowok. Mereka udah nikah, sah. Masa cuman pegangan tangan aja dia nggak pernah?” Gita menyela.
“Mika, coba lo yang godain dia,” saran Sarah.
Jihan dan Gita kompak mengangguk, menyetujui saran dari Sarah.
Aku terbengong. Memandangi mereka bertiga, satu per satu.
Walaupun aku penasaran, mengapa Mas Danu tidak pernah ada maksud menyentuhku selama dua bulan sah menjadi suami istri, kurasa menggodanya bukan ide bagus.
Apa aku seingin itu sampai berniat menggoda? Membalas gombalan dari laki-laki saja aku tidak pernah. Ini, aku malah ditantang inisiatif duluan.
“Coba aja dulu,” desak Gita.
Jihan mengangguk. “Siapa tau suami lo butuh pancingan.”
“Lagian godain suami pahala tau,” dukung Sarah.
Aku menelan ludah. “G-gimana caranya?”
**
Sejak kecil, aku tidak terbiasa dekat dengan lawan jenis. Itu dimulai dari Ayah. Sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya, Ayah sangat menjagaku dari laki-laki.
Ayah bilang, tidak ada laki-laki yang boleh kupercaya selain beliau dan Mas Malik.
Kalaupun aku berteman dengan laki-laki, Ayah selalu mengingatkan jika ada batasan yang harus kuingat.
Beranjak dewasa, kini tugas Ayah digantikan oleh Mas Malik. Sama seperti Ayah, Mas Malik juga tegas soal lawan jenis.
Setiap laki-laki yang berusaha mendekatiku akan berurusan dengan Mas Malik. Makanya aku tidak pernah ada pengalaman dengan laki-laki.
Mungkin karena itu pula, aku akhirnya terbiasa dan tidak lagi punya minat menjalin hubungan pacaran atau sejenisnya.
Dan sekarang, aku yang tidak berpengalaman ini malah mengikuti saran dari temanku yang sering gonta-ganti pacar. Aku baru menyesalinya sekarang.
Tapi sepertinya, aku sudah sangat terlambat untuk mundur. Kudengar, mobil Mas Danu telah tiba.
Aku mengembuskan napas lalu menunduk memandangi piyama yang kupakai. Celananya yang panjangnya setengah paha dan baju dengan tali tipis.
Seumur hidup, ini pertama kalinya aku mengenakan baju seterbuka ini. Di depan suami pula.
“Mika?” Itu adalah kebiasaan Mas Danu setiap pulang. Memanggil namaku, mencari keberadaanku.
Aku mengembuskan napas sekali lagi kemudian lanjut mengaduk masakanku dengan jantung berdebar.
Aku mendengar langkahnya yang semakin mendekat, tapi aku berpura-pura tidak mendengarnya dan fokus memasak.
“Kamu masak apa?”
Aku menoleh, menatap Mas Danu yang berdiri di sebelahku. “Ceker. Mas, suka ceker, kan?”
Mas Danu tersenyum. “Siapa yang kasih tau Mas suka ceker?”
“Mama.”
Mas Danu mengedarkan pandangan. “Bi Sumi mana? Kenapa kamu yang masak?”
“Ada kok. Aku emang mau masak buat Mas, makanya kusuruh masuk kamar aja.”
Mas Danu tersenyum lagi. “Makasih, ya. Kalo gitu, Mas mandi dulu terus kita makan bareng-bareng.”
Senyumku seketika lenyap ketika Mas Danu meninggalkanku tanpa sentuhan sedikit pun. Apa bajuku kurang terbuka?
Usaha pertamaku gagal.
Jihan, Gita, dan Sarah kembali memberiku saran. Dan bodohnya, aku mengikutinya. Dan malam ini, aku melakukannya.
Masih seperti baju kemarin, ketika Mas Danu masih berada di ruang kerjanya, aku pura-pura tidur dengan tali spaghetti yang melorot.
Cukup lama menunggu, akhirnya Mas Danu masuk ke kamar. Mungkin, sekitar satu menit atau lebih, aku malah merasakan Mas Danu menutupi tubuhku dengan selimut hingga leher.
Usahaku keduaku pun gagal.
Tapi ketiga temanku tidak mengenal kata menyerah. Mereka memberi saran terakhir. Katanya, jika ini gagal, berarti ada yang salah dengan Mas Danu.
Malam berikutnya, saat Mas Danu baru saja berbaring di sebelahku, aku yang pura-pura tidur melingkarkan tanganku di pinggangnya.
Tidak ada respon. Malahan jantungku yang berdetak tidak karuan. Ini pertama kalinya aku memeluk laki-laki!
Sayangnya, usaha terakhirku pun gagal.
Mas Danu dengan hati-hati menjauhkan tanganku dari pinggangnya. Bahkan menaruh guling di tengah-tengah. Seakan memberi pembatas agar aku tidak melewatinya.
Benar, ada yang salah dengan Mas Danu. Ataukah pernikahan kami yang salah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Bercinta
RomanceSebagai perempuan yang dijaga ketat oleh keluarganya, Mika tumbuh menjadi perempuan yang tak tahu apa-apa soal laki-laki. Bahkan soal percintaan sekali pun. Dan ketika Mika akhirnya menikah dengan Danu, Mika seolah buta arah. Namun Danu sebagai suam...