empat

8.1K 293 2
                                    

Angga yang berjalan di depan, berhenti, lalu berbalik. Aku, Jihan, Sarah, dan Gita otomatis ikut berhenti.

“Mika, ayo!” ajak Angga.

Jihan yang berdiri di sebelahku sembari merangkul leherku, mewakiliku menjawab, “Ehem, hari ini Mika nggak nebeng sama lo. Iya, kan, adik?” Jihan menoleh dan menatapku dengan alis naik turun.

Aku tersenyum malu. “Apa sih?”

Jihan memang tahu semuanya, sampai rencanaku bersama Mas Danu nanti pun dia tahu. Sarah dan Gita juga. Itu kenapa sepanjang hari ini, mereka tidak henti-henti menggodaku.

Yang tidak tahu itu cuman Angga. Bukan maksud ingin merahasiakan atau aku merasa tidak dekat untuk menceritakannya pada Angga. Hanya saja hubunganku dengan Mas Danu belum sejauh itu jadi aku tidak mau terlalu banyak orang yang tahu.

“Oh, sorry gue lupa lo udah pindah. Tapi ikut aja, gue anterin.” Angga mengendik ke arah parkiran.

Gita tiba-tiba maju selangkah, menjadikannya lebih dekat dengan Angga. “Berhubung cuman lo yang belum tau, sini gue kasih tau. Jadi gini—”

“Mika dijemput calon suaminya,” potong Sarah.

“Bukan calon suami!” protesku.

“Gue yang mau jelasin, kenapa lo nyela!” Gita ikut protes. “Ah, mana langsung intinya lagi,” dumelnya.

“Lah? Emang calon suami, kan?” Sarah menatapku menuntut jawaban.

“Lo mau nikah?” tanya Angga.

Aku menggeleng tenang. “Bukan calon suami. Masih dalam pertimbangan.”

“Siapa? Dia kuliah di sini?” tanya Angga lagi. Dia kelihatan cukup terkejut. Wajar sih, Gita dan Sarah juga sama terkejutnya tadi.

Belum sempat menjawab, Jihan segera menyela.

“Kebetulan. Tuh orangnya.” Jihan mengendik ke arah Mas Danu yang baru saja keluar dari mobilnya.

Dilihat dari jauh pun, Mas Danu tetap tampan. Padahal wajahnya tidak begitu jelas. Lagi-lagi aku terpana.

“Aslinya lebih ganteng dari foto,” bisik Sarah.

“Kalo kata gue sih, nikah aja. Atau kalo lo nggak mau, buat gue aja. Ikhlas kok gue terima sisaan lo,” timpal Gita. Jihan yang ada di sampingku sudah tertawa sejak tadi.

“Enak aja!” ujarku.

“Nggak salah lagi, bentar lagi kita bakal jadi bridesmaid,” kata Jihan.

“Gue maunya warna maroon.” Sarah mengangguk-angguk.

“Bagusan terracota nggak sih?” tentang Gita.

Mereka tidak lanjut berdebat karena Mas Danu telah sampai di hadapan kami, berdiri di dekat Angga yang hanya diam. “Mika.”

Aku mengulas senyum untuk menyambutnya.

Mataku tanpa sadar memindai penampilan Mas Danu mulai dari ujung kepala hingga kaki. Rambutnya yang tadi pagi tertata rapi, sekarang agak berantakan. Sementara kemejanya masih kelihatan halus dan rapi.

Dan yang paling membuat berdebar adalah bau parfum yang menyebar setiap dia bergerak. Ringan dan menenangkan menciumnya.

“Temen-temen kamu?” tanya Mas Danu.

“Iya, Mas.” Lalu mereka berkenalan dengan Mas Danu satu per satu.

“Kalian mau sekalian saya anterin?” tawar Mas Danu.

“Nggak usah, Mas. Kita nggak mau ganggu. Lagian kita udah ada yang nganterin kok.” Jihan menatap Angga.

“Temen kamu pengertian,” canda Mas Danu.

Ajari Aku BercintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang