Aku mengurungkan niat memoles lipstik di bibirku. Entah hanya perasaanku atau bagaimana, tapi aku merasa bibirku agak bengkak. Padahal sejak dulu, aku punya bibir yang tipis.
Volumenya tidak bertambah signifikan, tapi untuk aku yang setiap hari melihat bibirku sendiri, aku bisa tahu perbedaannya.
Kalau aku boleh menduga, kemungkinan besar penyebab bibirku bengkak adalah Mas Danu.
Hari itu, sejak aku mulai bisa membalas ciumannya, Mas Danu terus mengajakku latihan. Seperti katanya, setiap kami hanya berdua dan mata kami bertemu, bibir kami harus ikut bertemu.
Selama dua minggu, Mas Danu terus melatihku hingga aku menjadi pencium yang cukup andal. Aku tidak lagi kaku, bahkan aku pernah memulainya.
Dan tadi malam, sebelum tidur, aku dan Mas Danu berciuman cukup lama. Tadi pagi juga. Makanya aku mencurigainya.
Mas Danu yang telah rapi dengan kemeja biru dan celana jeans-nya masuk ke kamar.
“Mas, bibirku agak bengkak nggak sih?” tanyaku sembari terus memerhatikan bibirku dicermin.
“Masa? Coba sini aku lihat.” Mas Danu menyambar ponselnya yang ada di tempat tidur dan menghampiriku. Mas Danu sedikit menunduk untuk melihat bibirku lebih dekat.
“Iya, kan?”
Mas Danu mengenyit samar. “Nggak kok. Sama aja kayak kemarin.”
“Coba perhatiin lagi, Mas,” desakku.
Mas Danu mencium bibirku. “Nggak bengkak, sayang.”
Tapi teman-temanku justru punya pandangan berbeda dengan Mas Danu. Saat aku baru tiba di kampus dan kebetulan sekali mereka sedang berkumpul di parkiran.
Kami jalan beriringan menuju kelas hingga satu pertanyaan dari Jihan membuat mereka semua memerhatikanku.
“Mika, bibir lo kok bengkak?”
“Habis diantup tawon lu, ya?” Sarah ikut bertanya.
“Diantup suaminya tuh,” timpal Gita.
“Bengkak beneran?” Aku menatap mereka satu per satu. Ternyata benar, kan! Bibirku agak bengkak. Mas Danu saja yang tidak bisa membedakannya.
Ketiga temanku kompak mengangguk.
“Tuh, kan! Tadi pagi gue ngerasa gitu, tapi Mas Danu bilang nggak nggak mulu,” sungutku.
Jihan terkekeh. “Beneran diantup suaminya.”
“Kalian saling kokop berapa lama sampe bibir lo gitu?” tanya Gita. Seperti biasa, dia tidak pernah ragu mengutarakan apa yang ada dalam kepalanya.
“Nggak etis lo nanya masalah gituan.” Sebuah suara dari arah belakang langsung menginterupsi kami.
Aku berbalik dan begitu pun yang lain. Angga berdiri sekitar dua langkah di belakang.
“Ihh apa sih? Sana, sana. Lo bukan circle kita,” usir Gita.
Angga melempar tatapannya padaku. “Lo juga, jangan jujur-jujur banget lah. Urusan rumah tangga itu urusan lo berdua sama suami lo.”
Aku terdiam hingga Angga berlalu meninggalkan kami. Aku cukup terkejut, ini pertama kalinya Angga berbicara dengan tegas seperti itu padaku.
“Angga tadi marahin gue? Tapi kan gue nggak cerita apa-apa,” tanyaku masih kaget.
“Aneh banget. Udah, nggak usah lo pikirin,” hibur Gita.
“Angga nggak marah, dia nasehatin tapi emang agak judes.” Jihan mengangkat bahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Bercinta
RomanceSebagai perempuan yang dijaga ketat oleh keluarganya, Mika tumbuh menjadi perempuan yang tak tahu apa-apa soal laki-laki. Bahkan soal percintaan sekali pun. Dan ketika Mika akhirnya menikah dengan Danu, Mika seolah buta arah. Namun Danu sebagai suam...