ー Part ini sedikit panjang, jadi aku harap kalian bersabar dalam membacanya, ya ^^
ー Saran dan kritik diperbolehkan dengan syarat gunakan bahasa yang sopan.
ー Tidak ada karya yang sempurna, tetapi setidaknya kita mau berusaha mencoba agar lebih baik🌷✨
ー Happy enjoy it!
◥◤◥◤◥◤
Naren tengah berdiri di depan pintu ruang kerja Pradipta yang tertutup. Hatinya gundah, ia merasa bingung harus masuk ke dalam atau kembali ke kamarnya, tetapi jika ia kembali ke kamar, maka perkataan Al dan Harsa terus menganggu pikirannya. Naren berdiri mematung di depan pintu ruang kerja Pradipta selama 30 menit dengan pikiran yang berkecamuk, sampai pada akhirnya bocah itu memberanikan diri untuk mengetuk pintu tersebut.
Pintu mulai diketuk, di detik berikutnya terdengar suara sahutan Pradipta dari dalam yang menyuruhnya untuk masuk. Naren menggenggam handle pintu, lalu membukanya dengan perlahan. Kemudian saat jarak Pradipta terkikis oleh jarak Naren, bocah itu mulai membuka suara.
"Papa, ada yang mau aku tanyain," kata Naren, bocah itu menundukkan kepala dengan jari-jari tangan yang sibuk memilin ujung baju kaosnya.
Netra Pradipta masih terfokus pada layar laptop, tapi tak urung pria itu menanggapi Naren. "Hmm... Apa itu?" tanya Pradipta sembari menaikan kacamatanya yang melorot.
"Minggu depan, Papa bener mau nikah sama orang itu?" Naren mengajukan pertanyaannya.
Pradipta menghentikan aktifitas mengetiknya. Tatapan pria itu terangkat--menatap Naren. "Iya. Jadi?"
"Kenapa Papa gak kasih tau aku?"
"Papa akan kasih tau kamu di waktu yang pas."
Mendegar jawaban papanya, Naren tersenyum kecut. "Waktu yang pas? Kapan? Apa setelah persiapan pernikahannya udah jadi?" Tatapan mata Naren terpancar kekecewaan yang sangat dalam.
"Bukan begitu. Dengar penjelasan Papa dulu Naren, Papaー"
Perkataan Pradipta terpotong oleh suara Naren. "Aku kecewa Papa mau nikah lagi. Tapi aku lebih kecewa karena Papa gak jujur sama aku kalau Papa mau nikah secepat ini. Apa sebenarnya Papa emang udah kenal lama sama orang itu?" Suara Naren terdengar bergetar.
"Maafin Papa, Naren. Tapi Papa ngelakuin ini semua demi kamu, Papa enggak mau kamu kesepian." ujar Pradipta.
"Kesepian?" Naren merasa perkataan papanya itu sangat lucu, sampai-sampai Naren tak tahu harus bereaksi seperti apa. "Sejak kapan Papa peduli sama aku?"
Pradipta bangkit dari tempat duduknya, sorot matanya yang tajam menatap Naren dengan tegas. "Apa maksud kamu, Naren? Tentu Papa peduli sama kamu! Kamu itu anak Papa satu-satunya. Papa nggak mau kamu sakit!"
Lagi-lagi Naren tertawa kecut. "Apa Papa khawatir karena waktu itu alergiku kambuh? Pa, tubuh aku luka-luka karena bekas dipukul pun Papa sama sekali gak peduli, tapi kenapa hanya karena alergi aja Papa sepeduli itu sama aku?" Naren menjeda ucapannya. Netranya memburam sebab air mata mulai keluar dari pelupuk matanya.
"Tapi kalau itu yang Papa mau, aku bisa apa? Toh, aku bicara kayak gini pun Papa gak akan ngebatalin pernikahan itu, kan?" Naren mengusap air matanya dengan kasar. "Maaf udah ganggu waktu Papa yang berharga, kalau gitu aku pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Me? || Zhong Chenle
Teen FictionJika mendengar kata rumah, apa yang langsung terlintas dipikiran? Mungkin orang akan berkata; itu seperti sebuah bangunan hangat, yang setiap kita datang membuka pintu, akan selalu ada orang-orang yang menyambut kita dengan senyum lebar. Tempat yang...