14 : Tiket bercerita

116 21 3
                                    

ー Saran dan kritik diperbolehkan dengan syarat gunakan bahasa yang sopan.

ー Tidak ada karya yang sempurna, tetapi setidaknya kita mau berusaha mencoba agar lebih baik🌷✨

ー  Happy enjoy it!



◥◤◥◤◥◤



Setelah menyelesaikan bimbingan untuk olim matematika, Naren memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Bocah itu sedari tadi terus melangkah di pinggir jalan raya. Tujuannya saat ini adalah pergi ke taman kota. Naren berniat untuk mengistirahatkan tubuh serta pikirannya yang lelah.

Beberapa saat kemudian, bocah itu sudah duduk di kursi taman, suasana di sekelilingnya tidak terlalu sepi, hanya segelintir orang yang juga sedang beraktivitas di taman ini. Lampu-lampu jalan sudah menyala, langit pun menunjukkan semburat warna jingga, suara bising kendaraan yang berlalu lintas seakan menjadi iringan bagi suasana taman kota saat ini.

Akhir-akhir ini Naren merasa tubuhnya lelah. Bocah itu menghela napas dalam. "Gimana, ya, kalau Papa tau Kak Harsa itu orang yang belakangan ini suka bully aku. Apa Papa masih mau ngelanjutin acara pernikahannya? Kalau aku kasih tau... Aku ngerasa kasihan juga sama Papa."

Naren menyugar rambutnya ke belakang. "Apa aku terlalu egois? Mungkin Papa juga pingin punya keluarga lagi kayak dulu, Papa bilang itu juga demi aku. Apa sebaiknya aku gak kasih tau Papa, ya?"

Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Naren dari arah belakang. "Sendirian aja!" katanya, lalu ia ikut duduk di sebelah Naren.

Naren sedikit terkejut, tetapi dengan cepat ia menormalkan kembali ekspresi wajahnya. "Bang Rama? Abang, ngapain ada di sini?"

"Tadi gak sengaja lewat waktu mau pulang, terus dari kejauhan Abang gak sengaja liat kamu, ya udah Abang samperin aja kamu," katanya, lalu tertawa pelan.

Naren melihat penampilan Rama. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan Rama, terbukti bahwa laki-laki itu sedang mengenakan seragam sekolah.

"Kamu sendiri ngapain ada di sini, Ren? Bukannya pulang, entar dicariin lagi."

"Biarin. Aku lagi gak mau pulang dulu, rasanya sumpek kalau di rumah," Naren mengalihkan tatapannya ke bawah.

Rama mengerutkan keningnya, ia merasa Naren sedang ada masalah. "Kamu lagi ada masalah, Ren?" tanya Rama, laki-laki itu terus memperhatikan gerak-gerik Naren.

"Enggak, Bang."

"Bohong. Muka kamu aja masam gitu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan cerita sama aku, ya? Meskipun kita baru kenal beberapa hari, tapi aku itu pandai jaga rahasia, lho..." ucap Rama menyombongkan diri, sementara itu Naren tertawa kecil karena ucapan Rama.

"Gak percaya? Ya udah!" Rama berlagak merajuk.

"Iya, percaya kok. Kalau gitu, boleh nih aku cerita?" tanya Naren, bocah itu masih tertawa pelan.

"Boleh banget. Telinga, mata dan mulut aku siap buat dengerin cerita kamu, Ren."

Akhirnya, tanpa menaruh rasa curiga Naren menceritakan keluh kesahnya yang beberapa hari terakhir ini mengganggu pikirannya. Selama bercerita, Naren merasa nyaman, selama ini ia tak pernah menceritakan apapun tentang masalah yang dia alami, bahkan pada Idan pun Naren enggan bercerita. Tetapi tidak dengan Rama, Naren merasakan kehangatan jika berada didekat Rama, kehangatan seperti sebuah keluarga. Hingga tak terasa, langit mulai menggelap. Jam yang melingkar di lengan Naren menunjukkan pukul tujuh malam.

Why Me? || Zhong ChenleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang