16 : Terpaksa lalu Terbiasa

141 20 0
                                    

ー Saran dan kritik diperbolehkan dengan syarat gunakan bahasa yang sopan.

ー Tidak ada karya yang sempurna, tetapi setidaknya kita mau berusaha mencoba agar lebih baik🌷✨

ー  Happy enjoy it!






◥◤◥◤◥◤





Pradipta keluar dari dalam kamar dengan berpakaian rapi. Hari minggu ini, Pradipta memutuskan untuk pergi ke TPU, jika diingat-ingat sudah lama sekali Pradipta tidak pergi ke sana. Pradipta selalu disibukkan oleh pekerjaannya di kantor, tetapi jika ada waktu senggang, Pradipta memilih untuk beristirahat di rumah.

"Naren kayaknya udah pergi buat bimbingan, aku pergi sekarang aja kali, ya?" gumam Pradipta. Pria itu berbicara sambil melangkahkan kaki ke luar rumah.

Pradipta masuk ke dalam mobil, lalu mulai menyalakan mesin mobil dan melaju pergi meninggalkan pekarangan rumah. Sebelum ke TPU, pria itu memutuskan untuk pergi ke tempat penjual bunga lebih dulu untuk membeli dua ikat mawar merah.

Satu jam kemudian, Pradipta sudah berada di TPU. Pria itu masih berdiri di depan gerbang sembari memperhatikan sekelilingnya. Perasaan tak karuan menyelimuti hati pria itu, kakinya seakan dibuat berat untuk sekadar melangkah. Pradipta menarik napas dalam-dalam, ia sudah memantapkan niatnya sejak semalam untuk pergi ke tempat ini, sekarang dirinya sudah berada di depan gerbang TPU, tinggal beberapa langkah saja untuk sampai di makam mendiang sang istri.

Beberapa saat kemudian, Pradipta telah sampai di makam Rarity. Netranya memburam, seperkian detik berikutnya bulir-bulir air mata jatuh. Pradipta terduduk di pinggir makam sang istri, tangannya terangkat untuk mengelus batu nisan, sekelebat bayangan masa lalu langsung terlintas di benaknya, seakan-akan tengah menyapa pria itu.

"Maafin aku, Rarity..." Pradipta dilanda rasa bersalah yang amat besar. "Waktu itu harusnya aku datang lebih cepat. Aku salah, aku nggak berguna, maafin aku..."

Tubuh sang istri yang terbujur kaku dengan bersimbah darah di tengah jalan menjadi memori tragis bagi Pradipta. Meski Pradipta menangis tersedu-sedu pun, takdir tidak dapat diubah. Berat memang mengikhlaskan kepergian orang yang berharga bagi kita. Tetapi seperti kata orang-orang, datang dan pergi itu sudah menjadi hal yang lumrah didalam kehidupan.

Pradipta mencoba ikhlas, meski kata ikhlas adalah sebuah pengalihan, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang benar-benar mengikhlaskan seseorang yang dia sayangi pergi, dia hanya terpaksa lalu terbiasa. Maka dengan begitu, Pradipta menaruh seikat bunga mawar di atas makam sang istri. Beberapa menit kemudian, ia bangkit dan mulai berjalan menjauhi makam sang istri.

Kakinya melangkah mendekati satu makam yang berada tidak jauh dari makam Rarity. Saat sudah sampai di makam tersebut, Pradipta menaruh seikat bunga mawar lagi di atas makam. Makam itu terlihat kecil, nisannya tertulis nama seorang anak laki-laki.

"Papa minta maaf karena nggak bisa jengukin kamu. Meski kamu belum sempat lahir, tapi Papa selalu sayang sama kamu." Pradipta mengelus nisan makam tersebut.

~ o0o ~

Keringat mengucur deras dari pelipis seorang laki-laki berjersey kuning, tangannya sibuk men-dribble bola basket, tatapannya fokus pada ring basket milik lawan. Dia adalah Naren.

Idan bersorak dari luar lapangan basket, bocah itu sedang menyemangati sahabatnya. Papan Skor menunjukkan perbandingan point yang selisih tipis. "Ayo Naren, Bang Mara, Semangat! Satu point lagi, jangan nyerah!" Tinggal mencetak point terakhir, maka Tim Naren akan menang.

Why Me? || Zhong ChenleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang