Harapan

8 2 0
                                    

Hari demi hari, kondisi Adit sedikit membaik. Qierin, Sam, Lia, dan kedua orang tua Adit merasa sangat bahagia mendengar kabar tersebut. Setiap hari mereka bergantian menjaga Adit, memastikan ia tidak pernah sendirian.

Malam itu, Qierin sangat kecapean hingga tak sadar matanya terlelap. Ia bermimpi bertemu dengan Adit. Dalam mimpi itu, Adit terlihat bahagia dan tersenyum padanya.

"Qierin, terima kasih telah selalu ada untukku. Aku sangat senang bisa mengenalmu walau kita hanya mengenal sebentar. Maafkan aku karena telah membuatmu menangis." Adit tersenyum

"Sudah saatnya aku pergi." Lanjutnya

"Kak Adit, jangan pergi." Qierin menangis sambil mencoba menahan agar Adit tak pergi

Qierin terbangun dari mimpinya dengan air mata di pipinya. Dia merasa mimpi itu begitu nyata, seolah-olah Adit benar-benar berbicara dengannya. Dengan hati yang masih gundah, ia beristighfar dan segera bangun untuk melaksanakan sholat malam guna menenangkan dirinya.

"Ya Allah, jika Engkau mengizinkan, sembuhkanlah kak Adit. Berikanlah dia kekuatan untuk melewati semua ini Ya Allah."

Setelah selesai sholat, Qierin memutuskan untuk mengecek kondisi Adit sebentar. Ia masuk keruangan atas izin perawat. Ketika ia melihat Adit sebuah keajaiban terjadi. Tangan Adit mulai bergerak perlahan. Qierin awalnya tidak menyangka apa yang dilihatnya, tetapi ketika tangan Adit semakin bergerak, ia mulai mencoba berkomunikasi dengan Adit.

Qierin berbisik dengan penuh harap "Kak Adit, kamu bisa mendengarku? Tolong, jika kamu bisa mendengarku, berikan tanda."

Meskipun Adit belum mampu merespons dengan kata-kata karena kondisinya masih lemah, gerakan tangannya sudah memberikan harapan. Qierin segera memanggil dokter yang berjaga. Dokter langsung datang ke ruangan Adit dan melakukan pemeriksaan.

Dokter dengan penuh keheranan dan rasa syukur. "Ini luar biasa. Adit menunjukkan tanda-tanda pulih sedikit demi sedikit."

Keajaiban datang dari Tuhan. Qierin merasa hatinya penuh dengan syukur dan harapan. Ia yakin bahwa doanya, serta dukungan dan cinta dari keluarga dan sahabat-sahabatnya, telah membantu Adit melewati masa-masa sulit ini.

"Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih atas keajaiban-Mu." Qierin penuh syukur

Hari demi hari, kondisi Adit semakin membaik. Tanda-tanda kesadarannya mulai terlihat, dan akhirnya, Adit benar-benar sadar. Qierin, Sam, Lia, dan teman-teman lainnya merasa sangat bersyukur dan bahagia mendengar kabar tersebut.

Suatu pagi, dokter mengabarkan bahwa Adit telah melewati masa kritis dan sekarang dalam tahap pemulihan. Kedua orang tua Adit merasa lega dan berterima kasih kepada semua yang telah mendukung selama masa-masa sulit tersebut.

"Qierin, Lia, Sam, dan semuanya, kami sangat berterima kasih atas dukungan kalian. Namun, sekarang Adit sudah mulai pulih. Kalian harus kembali ke kuliah. Jangan khawatir, kami akan merawat Adit dengan baik." Ibu Adit dengan lembut

Qierin mau tidak mau setuju dengan permintaan orang tua Adit, meskipun hatinya terasa berat. Dia meminta izin untuk berpamitan kepada Adit sebelum pergi. Kedua orang tua Adit setuju.

Qierin pun masuk ke ruangan Adit. Melihat Adit yang masih terbaring lemah namun sadar, hatinya terenyuh. Dia mendekati tempat tidur Adit dan duduk di sampingnya.

"Kamu sudah banyak membuatku kuat dan tegar. Saat awal bertemu kamu mencoba menguatkan ku dengan kata katamu yang menusuk, tapi entah kenapa kata kata mu sangat membuat ku kuat. Kita memang masih sangat singkat. Namun selama hidupku, aku tidak pernah merasakan perasaan seperti ini." Ucap Qierin pelan

Adit hanya bisa mendengar, terlalu lemah untuk memberikan respons verbal. Namun, matanya yang sayu menatap Qierin dengan penuh pengertian. Ia mencoba menggerakkan tangannya untuk meraih tangan Qierin, memberi tanda bahwa ia memahami perasaan Qierin.

"Kak Adit, cepatlah sembuh. Aku akan selalu berdoa untukmu."

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Qierin berdiri untuk pergi. Ia melihat Adit mencoba tersenyum meskipun sangat lemah. Momen itu membuatnya merasa sedikit lega.

Qierin kemudian keluar dari ruangan Adit dan bergabung dengan Lia, Sam, dan teman-temannya di ruang tunggu. Mereka semua kemudian berpamitan kepada kedua orang tua Adit.

"Terima kasih sekali lagi, anak-anak. Kalian sudah melakukan yang terbaik. Semoga perjalanan kalian selamat dan kuliah kalian berjalan lancar." Jawab Ibu Adit dengan nada lembut

Qierin, Lia, Sam, dan teman-teman: "Terima kasih, Bu. Kami akan terus mendoakan Adit."

Dengan hati yang berat namun penuh harapan, Qierin, Sam, Lia, dan teman-teman lainnya pulang. Mereka tahu bahwa perjalanan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari fase baru dalam kehidupan mereka dan Adit.

Takdir Tak TerdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang