kesalahpahaman

2 1 0
                                    

Waktu terus berlalu, dan meski Adit dan Qierin semakin sering bersama, ada sesuatu yang tak terlihat mulai muncul. Mereka masih melakukan hal-hal baru bersama, tetapi ada rasa hampa yang perlahan menyelimuti hubungan mereka. Seperti ada jarak yang tak terucap, namun semakin nyata.

Ruang BEM

Adit semakin sibuk. Sebagai Ketua BEM, tanggung jawabnya seolah tak pernah habis. Rapat, diskusi, acara kampus—semuanya menumpuk, membuat Adit harus mengorbankan banyak hal, termasuk waktu yang biasa ia habiskan dengan Qierin.

Sementara itu, Qierin mulai merasakan dinginnya hubungan mereka. Tak ada lagi pesan singkat dari Adit yang selalu membuatnya tersenyum di sela-sela kuliah. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin berkurang. Adit tampak jauh, seolah menghilang di balik kesibukannya.

Perpustakaan

Di tengah kesibukannya mengerjakan tugas di perpustakaan bersama Lia, pikiran Qierin terus teralihkan oleh Adit. Perasaan ragu mulai menyelimuti hatinya. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan kegundahan yang terus merayapi pikirannya.

"Lia, aku merasa ada yang salah. Adit... dia seperti menjauh," ucap Qierin dengan suara bergetar, tanpa menatap temannya.

Lia menatapnya dengan penuh simpati, lalu meletakkan bukunya. "Mungkin dia cuma sibuk. Kamu tahu kan, dia Ketua BEM sekarang, tanggung jawabnya besar."

"Tapi ini berbeda, Lia. Dia bahkan tidak menghubungiku seperti dulu. Aku mulai merasa dia bosan dengan kita..." suara Qierin merendah, nyaris pecah.

Lia menggenggam tangan Qierin, mencoba memberinya kekuatan, tetapi kesalahpahaman itu sudah terlanjur merasuki hati Qierin.

Ruang BEM

Beberapa hari kemudian, Qierin kebetulan lewat di depan ruang BEM. Dari balik jendela, matanya menangkap sosok Adit yang sedang tertawa bersama seorang perempuan, anggota BEM bernama Dinda. Mereka tampak sangat akrab, terlalu akrab bagi Qierin yang melihatnya dari jauh.

Hatinya mencelos. Seperti ada pisau yang perlahan menyayat perasaannya. "Jadi... ini alasan dia menjauh?" pikir Qierin dengan hati yang remuk. Pandangannya mulai mengabur oleh air mata yang ia tahan.

Ia berjalan pergi, meninggalkan pemandangan yang membuat hatinya terluka. Di dalam hatinya, Qierin mulai yakin, Adit sudah tidak lagi menginginkannya.

**Di Kelas**

Adit menyadari sesuatu telah berubah. Qierin semakin dingin, semakin sulit diajak bicara. Setiap kali Adit mencoba mendekatinya, Qierin selalu memberikan alasan untuk pergi.

"Qierin, apa kamu sibuk belakangan ini? Rasanya kita jarang punya waktu bareng," tanya Adit suatu hari, mencoba mencari tahu.

"Tidak, Adit... aku cuma butuh waktu sendiri," jawab Qierin dingin, sambil menghindari tatapan Adit. Hati Adit terasa sakit mendengar jawaban itu, namun ia tak berani memaksa lebih.

Ruang kelas

Beberapa hari setelah kejadian itu, kabar mengejutkan datang. Sam, sahabat Adit, datang dengan wajah serius.

"Adit, kamu tahu Qierin mau mundur sebagai perwakilan fakultas?" tanya Sam tiba-tiba.

Adit tertegun, darahnya berdesir. "Apa? Kenapa? Dia tidak bilang apa-apa padaku."

"Ada alasan pribadi katanya, tapi kurasa ada yang lebih dari itu, Dit."

Adit segera bergegas mencari Qierin. Hatinya dipenuhi kecemasan, dan perasaan tak enak semakin kuat.

Sudut taman kampus

Adit akhirnya menemukan Qierin di taman kampus, duduk sendiri di bangku yang biasanya mereka duduki bersama. Namun kali ini, ekspresi Qierin terlihat berbeda—terluka, rapuh, dan seolah terjebak dalam kebingungan.

"Qierin," panggil Adit dengan lembut, mendekatinya perlahan. "Aku dengar kamu mau mundur dari perwakilan fakultas. Apa yang terjadi?"

Qierin menoleh, matanya berkaca-kaca. Dengan suara gemetar, ia berkata, "Kenapa kamu masih peduli, Adit? Aku merasa kamu lebih sibuk dengan BEM, sampai-sampai melupakan tanggung jawab kita sebagai perwakilan fakultas. Kamu hampir tidak pernah ada untuk membicarakan hal penting ini dengan aku."

Adit terkejut mendengar tuduhan itu. "Apa maksudmu? Tentu saja aku peduli!"

"Kamu terlalu sibuk dengan BEM... dan aku melihatmu, Adit. Aku melihatmu bersama Dinda. Kalian begitu asyik tertawa, sementara aku...," suara Qierin bergetar. "Aku merasa kamu sudah tidak butuh aku lagi."

Adit terdiam sejenak, menyadari bahwa apa yang dirasakan Qierin berbeda dari apa yang ia maksud. "Qierin, tolong dengarkan aku. Apa yang kamu lihat salah paham. Dinda hanyalah anggota BEM yang sedang bertanya soal tugas. Tidak lebih dari itu."

Qierin menarik napas panjang, matanya masih terasa berat oleh keraguan. "Tapi kamu lebih banyak bersama mereka sekarang, daripada waktu kita berdua. Aku merasa tersingkir, Adit."

Adit menggeleng pelan. "Aku tidak pernah bermaksud seperti itu. Maafkan aku kalau kesibukan ini membuat kamu merasa begitu. Tapi tolong, jangan mundur dari perwakilan fakultas. Kita sudah berusaha sejauh ini, dan aku butuh dukunganmu."

Qierin tertunduk, perasaannya campur aduk. "Aku hanya tidak ingin kita terus seperti ini. Aku merasa kita semakin jauh..."

Adit menatap Qierin dengan serius, mencoba menenangkan. "Aku paham perasaanmu. Aku berjanji akan lebih berusaha menjaga keseimbangan. Kita bisa atasi ini bersama. Kamu penting bagiku, Qierin, bukan hanya sebagai partner di fakultas, tapi juga teman yang selalu mendukung."

Qierin mengangguk perlahan, mulai merasa lebih tenang setelah mendengar penjelasan Adit. "Baiklah, aku akan mencoba untuk bertahan dan memahami. Maafkan aku juga, Adit."

Adit tersenyum kecil, merasa lega karena kesalahpahaman mulai terurai. "Kita akan hadapi semuanya bersama, insyaAllah."

Takdir Tak TerdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang