Jalanan Palembang tidak pernah sepi, motor-motor mengebut dengan suara knalpot bodong yang
memekakkan telinga. Angkot-angkot saling beradu klakson, tak mau mengalah untuk cepat-cepat sebelum dapat penumpang. Mobil-mobil juga tak kalah ingin cepat melajukan kendaraan padahal macet
dan lampu merah terang-terangan terpampang di depan mata.
Palembang tidak pernah sepi namun, baru kali ini gadis berambut panjang itu merasa sangat sunyi.Tak butuh waktu lama untuk
berjalan kembali ke Stasiun terdekat, namun gadis itu memilih melangkah dengan gontai sehingga tak kunjung sampai kedalam stasiun. Hal pertama yang gadis itu lakukan setelah tiba di stasiun adalah duduk mengampar, bersandar di salah satu tiang, dan mengeluarkan ponsel bercase bening dengan motif bunga-bunga, lalu membuka salah satu aplikasi di sana.Jantungnya berdebar-debar seperti
sehabis meminum lima cangkir kopi sekaligus, dadanya terasa sesak, pikiran yang biasanya memenuhi pemikiran kini membisu di sekitar seakan di kutuk untuk terdiam. Gadis itu menghela napas panjang dua kali, berusaha mengurangi rasa sakit di sekujur tubuhnya.Mencoba mengalihkan perasaan dengan menulis beberapa puisi di ponsel, orang-orang juga sering mengatainya gadis tidak waras karena mencari ketenangan
lewat menulis puisi atau berdiam diri di bawah deraian air hujan. Tapi gadis itu sendiri tidak tahu sebabnya, menulis puisi dapat membuatnya merasakan kenyamanan, bahkan ketenangan setelahnya."Kau terlalu baik," gumamnya sembari terus mengetikkan kalimat-demi kalimat di ponselnya. "Bajingan." Umpatnya didalam hati.
Tak bisakan kau menunggu sebentar saja, tuan?
kenapa kau harus memilih hari ini untuk bertemu dengan gadis lain?Tidak bisakah hari esok atau bahkan lusa saja?
Apakah kau benar-benar sudah tak mengiginkanku?Apa yang kukatakan pada Syarul
tadi mungkin akan membuat kedua sahabatku itu merasa bangga. Aku kuat, dan aku bisa men-skakmat pemuda berengsek yang ternyata menyelingkuhiku. Namun, apakah aku sekuat itu?Jelas tidak, ketika gadis itu
berjalan meninggalkan Syahrul mantan kekasihnya setelah beberapa jam yang lalu di taman kota itu, ia merasa tulang-tulang terasa linu, kakinya engan melangkah.Sudah dua setengah tahun sudah berlalu semakin memberatkan langkah, hatinya terasa sakit sekujur tubuhku terasa perih. Entah di bagian mana tepatnya rasa sakit itu berasal, saat itu Syahrul adalah satu-satunya harapannya saat merasa teluka, tetapi kini harapan itu pergi dengan sangat menyakitkan.
Dua setengah tahun bukan waktu yang singkat, kurangan apa yang membuat kau tak memutuskan untuk mendua, tuan?
Lalu dimana janji-janjimu dulu?
Bukahkah kedua orang tuaku sudah begitu mengenalmu?
Bahkan namamu selalu di sebut oleh kedua orang tuaku.Kemana perginya janjimu?
Ataukah sebenarnya hanya aku yang berharap lebih akan sikapmu itu?Sebuah puisi telah usai, penuh pertanyaan sama seperti isi hatinya gadis itu tidak akan menangis, ia tidak rela menumpahkan air mata yang berharga untuk pemuda berengsek sepertinya. Gadis itu meninggalkannya, yang berarti
dia tidak layak untuknya membuang-buang energi bila gadis itu harus menangisi kepergiannya.
Hingga sebuah notif mampu menghentikan ketikannya, lalu beralih keaplikasi berwarna hijau tersebut.Gemuruh KRL semakin dekat, kesimpulannya mudah sumber
masalah harus pergi supaya semuanya teratasi. Sumber masalah itu adalah gadis itu sendiri, ia berjalan dua langkah ke depan, dan memejamkan mata. Suara gemuruh itu terdengar seperti lagu Ibu kita kartini lagu yang sering dilantunkannya saat kecil dulu. Lagu yang menyenangkan dan menenangkan, rasanya sudah sangat dekat.Ia akan menyambutnya seperti kawan lama yang ingin melepas rindu, ia hela napas panjang berkali-kali saat suara itu terdengar semakin dekat. Bibirnya berkomat-kamit mendendangkan lagu Ibu kita kartini inilah saatnya.
Aku akan kembali ke tempat dari mana semua ini bermula lalu siapa tahu, ada kehidupan yang lebih baik di sana."Hei, apa yang kamu lakukan" Teriak pemuda yang tak tau di mana berada, sesaat kemudian gadis itu merasakan sesuatu menyambar tubuhnya membuat ia tersentak, setengah terasa seperti melayang. Ia terbang, tubuhnya terasa mencelat dan menghantam sesuatu yang sangat keras.
Sekarang gadis itu sedang membayangkan rantai besi yang kokoh dan keras itu melumat tubuhnya, darah dan daging bertaburan di mana-mana, gadis itu yakin kini tubuhku tinggal serpihan-serpihan, sempurna.
Rasa sakit mulai terasa di tubuh
bagian kanan yang tadi menghantam benda keras, ia
tak ingin membuka mata. Ia juga tak berani melihat tubuhnya yang
hancur dihantam KRL ia tak
ingin melihat dunia yang akan
kutinggalkan dalam satu tarikan
napas lagi, atau sebenarnya ia
sudah tidak bernapas? Bukankah harusnya rasa sakit ini semakin menjadi-jadi? Tapi kini ia tidak merasakan rasa sakit yang mampu menguras tenaganya."Mbak! Gila, ya?! Mau mati ketabrak kereta?" Sertak seseorang dengan suara barintonenya, hingga gadis itu memutukan membuka mata. KRL sudah berhenti tepat di sisi peron, menumpahkan penumpang-penumpang.
Sementara penumpang yang
seharusnya berebut masuk itu
menatapku aneh, dunia tidak lagi bisu. Kehebohan mulai terdengar di telingaku, gumaman demi gumaman samar-samar terdengar, teriakan-teriakan histeris pula meraja lela hingga ucapan istighfar berkali-kali juga ikut aku dengar."Ya Allah, Ampe gemeter saya!"
"Untung selamat, mbak itu nyaris ketabrak kereta!"
"Jatuh ya tadi?" Tanya ibu-ibu sepetinya ia baru sampai ketempat aku terjatuh, ah lebih tepatnya tempat aku ingin mangakhiri hidup.
"Bukan!, Itumah mau bunuh diri." Sarkas ibu-ibu dengan baju casualnya.
"Astagfirullah, bunuh diri?"
Setelah mendengar celotehan para wanita di sekitarnya gadis itu menatap tubuhnya sendiri, sedikit tercengang setelah tubuhnya terlihat masih utuh, ia terduduk di
lantai peron tasnya mencelat agak
jauh. Tapi tubuhnya masih utuh,
meski punggung dan tangan
kanannya terasa sangat nyeri karena menghantam tempat duduk besi."Jadi, tadi yang menyambarku bukan kereta?" Batin gadis itu sembari memperhatikan tubuhnya
"Mbak, mbak nggak apa-apa?"
Gadis itu menoleh ke samping, lalu menemukan pemuda berkemeja biru tua yang juga terduduk di lantai, sepertinya menatap dengan khawatir."Ada goresan panjang yang mengeluarkan darah di lengannya. Kurasa dia yang menyambarku, tepat sebelum aku menjatuhkan diri ke rel kereta," Batin gadis itu lagi lalu kembali terdiam menatap luka di tangan pemuda itu.
"Padahal aku sudah menyambut KRL datang, yang benar saja terjadi aku tidak mati? Aku masih hidup? Bahkan untuk hal sesederhana mati pun, aku tidak becus melakukannya?." Sambung gadis itu di dalam hati, dengan melihat kearah rel KRL
"Mbak? Mbak baik-baik aja?"
Pria itu kembali bertanya. Kini
ia berlutut di samping gadis itu, dan menatapnya cemas. Gadis itu membalas tatapanya, dan juga luka di tangannya air mata yang sejak tadi ia tahan-tahan, akhirnya pecah tak mampu tertahankan."I-iya, saya baik-baik saja. Bagaimana dengan luka itu?" Tanya gadis itu setelah melihat luka di tangan pemuda tadi.
"Saya baik-baik saja, silahkan minum." Ujarnya memberikan sebotol Milku dengan rasa coklat, sejujurnya itu bukanlah minuman yang baik untuk seseorang yang baru saja akan melakukan percobaan bunuh diri, tapi apalah daya pemuda itu hanya mempunyai sebotol Milku.
"Baiklah, terima kasih atas bantuanmu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Kepulangan.
RandomSemuanya Hanya Tentangmu Muhi, seorang gadis yang tenggelam dalam keputusasaan, berdiri di tepi hidupnya sendiri, siap melangkah menuju akhir. Namun, di detik terakhir, seorang pemuda menghentikannya. Dia duduk di sampingnya, memeluk tubuh mungil Mu...