11. Pulang

61 46 5
                                        

setidaknya kehadiranmu sempat membuatku bahagia, meskipun hanya sejenak.


"Van," lirih kedua gadis di hadapan tubuh Jovan, air mata yang sedari tadi terus mengalir tak terbendung.

"Lapo podo nanges koyok ngene?" Jovan mencoba berbicara meski suaranya terdengar lemah. Benturan di lengan dan kepalanya membuatnya kesulitan berbicara. "Aku lo rapopo, wes to. Udah Ki ah, gak cocok cewe jadi-jadian kaya lo nangisin gue." (Kenapa pada nangis kayak gini? Aku nggak apa-apa, udah deh.)

"Pekok, kok iso ciblok?" ujar Riski, tanpa sadar menggunakan bahasa Jawa. Tentu saja, hal itu membuatnya terkejut karena Riski bukan keturunan Jawa. Kedua remaja lainnya pun langsung terdiam dan saling bertukar pandang bingung. (Bodoh, kok bisa jatuh?)

"Kok?" ujar keduanya serempak, membuat Riski kebingungan, tak tahu harus menjawab apa.

"Lapo to rek?" tanya Riski lagi, kali ini dengan ekspresi bingung. Kedua remaja itu justru tertawa terbahak-bahak, karena ini adalah pertama kalinya mereka mendengar Riski berbicara menggunakan bahasa Jawa. Mereka merasa sangat lucu dan konyol.(Kenapa sih?)

"Rapopo, mung lucu kerungu awakmu ngomong Jowo ngunu yo ra, Mui?" ujar Jovan diiringi tawa yang renyah dan hangat. Ia menoleh pada Muhi yang juga ikut tertawa, merasa geli mendengar Riski mencoba bahasa Jawa.

"Ya gapapa, cuma lucu aja denger kamu ngomong pake bahasa Jawa gitu, iyakan Mui?" tanya Jovan dengan senyum penuh tawa.

Muhi mengangguk sambil tersenyum, "Iya, lucu banget."

Merasa dirinya memang lucu, Riski akhirnya ikut larut dalam tawa mereka. Suasana yang semula tegang kini berubah ceria, meski di balik tawa mereka, kedua gadis itu masih merasa khawatir dengan kabar buruk tentang kedua orang yang mereka cintai. Namun setidaknya, hari ini mereka bisa sedikit melupakan kekhawatiran itu, karena tawa dan canda yang mereka bagi bersama Jovan.

"Kok awakmu iso, Ki?" tanya Muhi, kali ini mengambil alih percakapan. (Kenapa kamu bisa, Ki?)

"Yo iso, la awak dewe koncoan wes pirang taun jajal? Wong kok unik," jawab Riski, lalu mulai memelankan tawanya. (Ya bisa, memang kita temenan udah berapa tahun, coba? Orang kok unik.)

"Ya Allah, sampe lupa. Gimana keadaan Ibu? Gara-gara gue, lo jadi gak pulang, Mui," ujar Jovan dengan rasa sesalnya yang jelas terlihat.

"Gak apa-apa, aku tadi udah telpon, dan besok gue baru pulang," jawab Muhi, dengan cepat menenangkan Jovan yang terlihat panik.

"Emang lo tadi bawa motor siapa, Van?" tanya Riski yang kebingungan, karena Jovan tadi menggunakan sepeda motor, padahal selama ini yang mereka tahu, Jovan tidak bisa mengendarai sepeda motor.

"Bapak kos, eh malah jatoh nabrak pohon," jawab Jovan santai, dengan sedikit cengiran.

••••••

Meskipun masih pukul 7 pagi, kedua gadis itu sudah bersiap pergi pagi-pagi sekali setelah membereskan pakaian mereka. Muhi dan Riski memutuskan untuk pulang ke desa. Sebelum itu, mereka sudah menemui Jovan terlebih dahulu.

"Gak apa-apa kali ya, Jovan, kita tinggal lagi pula kita pulang cuma dua atau tiga hari," ujar Muhi, yang langsung diangguki oleh Riski.


"Lagian, Jovan udah segede gaban, yakali nangis. Lagian kalo dia nangis, bisa nyusul," jawab Riski sambil mengeluarkan ponselnya.

"Travel aja biar cepet," ujar Muhi, sebelum Riski mengeluarkan suaranya untuk bertanya. Lalu Riski tersenyum dan mencari sopir travel yang mengarah ke desa.

Perjalanan dari kota menuju desa menghabiskan waktu sekitar tiga atau empat jam, membuat keduanya memutuskan untuk tidur. Sebelum tidur, mereka juga telah memberi tahu sopir yang usianya sekitar 40 tahun untuk berjalan sedikit lebih cepat.

"Ibu, ini aku udah di jalan pulang, sekitar pukul 1 siang," ujar Muhi sedikit berbohong, karena ia ingin memberi kejutan kepada sang ibu.

"Tapi, Dek, kita akan sampai pukul 11 siang," ujar sopir travel tersebut setelah Muhi memutuskan panggilan.

"Iya Pak, saya mau memberi kejutan, dan kita juga masih akan mampir ke beberapa toko oleh-oleh di jalan nanti," jelas Muhi, dengan senyum manis yang membuat sopir tersebut membalas senyuman Muhi.

"Pak," panggil Muhi, setelah beberapa saat terdiam menunggu sang sopir membalasnya.

"Iya, Dek?"

"Nanti tolong mampir ke toko oleh-oleh ya, takutnya nanti saya ketiduran," ujar Muhi yang diangguki lagi oleh sopir tersebut.

Perjalanan menuju desa hampir sampai. Pepohonan karet terlihat sangat rimbun di depan sana, dan terlihat beberapa orang dewasa yang tengah bekerja, ada pula yang akan pulang ke rumah.

Muhi menatap dengan pasti jalanan di hadapannya, menyaksikan beberapa burung yang terbang mengikuti di atas sana, melihat betapa indahnya langit sambil menyapa orang-orang yang memang Muhi kenal.

"Eh, Mui, mau pulang nak?" teriak seorang ibu-ibu di depan sana dengan senyuman. Muhi hanya membalas seadanya.

Riski sudah turun dari travel sedari tadi karena memang rumah Riski berada di desa yang berbeda. Setelah sampai, Muhi langsung berlari ke arah dapur, berniat memberikan kejutan kepada ibunya. Sebelum bertemu sang ibu, adik Muhi terlebih dahulu melihat keberadaan Muhi dan langsung memeluk kakaknya.

"Ka, Ibu di kamar," ujarnya, membuat Muhi semakin bersemangat. Setelah sampai di depan kamar, Muhi memberikan salam yang membuat ibu membalikkan badan dan berdiri.

"Waalaikumsalam, Nak. Ya Allah, katanya jam 1 baru sampai?" tanya sang ibu dengan terkejut, membuat Muhi tersenyum, lalu mereka saling berpelukan.

"Udah, Ibu katanya sakit, kenapa malah berdiri coba?" protes Muhi, kemudian meletakkan tubuh ibunya agar berbaring.

"Gimana kerjaanmu, Nak? Baru sebulan malah kamu pulang, Ibu jadi merasa bersalah," ungkap ibu, membuat Muhi membulatkan matanya sempurna.

"Apasi, Bu? Kan kemarin udah cerita sama ibu kalau aku dikasih libur seminggu," sanggah Muhi, dengan senyumnya yang sedari tadi muncul.

"Enggeh-enggeh, mau rené nganggo opo nduk?" tanya ibu Muhi, membuat Muhi teringat bahwa ia belum membayar travel tersebut. (Iya-iya, tadi kesini naik apa, Nak?)

"Ya Allah, Ya Rabbi. Sek ya buk ndurong di bayar." Ujar Muhi lalu berlari tanpa menggunakan sendal maupun sepatu. (Sebentar ya buk, belum di bayar.)

Badai Kepulangan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang