Prolog

278 97 107
                                    

“Hujan selalu menyimpan rahasianya dengan sempurna; ia tak pernah berkata, hanya jatuh sunyi dan membasuh luka."

Hujan sore itu memeluk taman kota dengan dinginnya, menghadirkan lara pada seorang gadis yang kini tengah duduk berdiam diri di bangku kayu yang telah basah. Rambut panjangnya yang basah terurai, membingkai wajah yang menyimpan luka. Namun, ia tetap diam, tatapannya teduh, seolah menggenggam kenangan yang tumpah bersama rintik hujan. Dari kejauhan, seorang pemuda jangkung berdiri memandangnya dengan seksama. Langkahnya akhirnya memecah jarak, membawa keberanian yang tak biasa.

"Kalau hujan turun, seharusnya yang kau bawa payung, bukan kenangan, yang hanya akan selalu mengunjang bagai pecundang yang tak ingin turun di medan perang." Ucap pemuda itu perlahan, suaranya mengalun lembut seperti rintik hujan yang jatuh di dedaunan.

“Jika bukan hujan, lalu apa yang bisa menyiram ingatan ini untuk tetap subur? Aku butuh alasan untuk tetap mengingatnya.” Jawab gadis itu, suaranya nyaris tenggelam dalam derasnya hujan. Ia menutup mata, seolah ingin meresapi setiap tetes yang menyentuh kulitnya.

"Luka seperti apa yang ia tinggalkan, hingga tatapanmu terasa seteduh ini, namun penuh duka?" Tanya pemuda itu, tatapannya menyelami wajah gadis di depannya.

Gadis itu terdiam, wajahnya memanas meski hujan terus membasuhnya. Kenangan yang baru saja terjadi kembali berputar di kepalanya. “Menurutmu, apa? Tatapan ini tidak berarti apa-apa, kalau bukan karena—," ujarnya seketika menghentikan kalimatnya, kemudian membuka mata, menatap pemuda di sampingnya.

“Maaf, Anda siapa?” lanjutnya, berdiri sembari merapikan tas yang sejak tadi ia dekap erat.

“Maaf jika saya lancang,” jawab pemuda itu sambil menunduk sedikit. “Nama saya Ye—”

Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara berat dari belakang memotong suasana yang hampir tenang.

“Muhi, tolong dengarkan aku! Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku bisa menjelaskan semuanya,” suara itu menggema, penuh desakan.

Muhi menoleh, matanya berkilat di antara air mata dan hujan. “Apa lagi yang ingin kau jelaskan, Rul? Apa yang tersisa untuk dimaafkan? Aku lelah, terlalu lelah.” Suaranya bergetar namun tegas, yang jelas gadis itu keluarkan. “Aku ingin kita selesai. Jangan pernah hubungi aku lagi.”

Ia berbalik, kakinya melangkah cepat, membelah derasnya hujan. Ia tak peduli pada panggilan yang terus mengejarnya, membiarkan suara itu tenggelam di balik suara hujan yang semakin deras.

Pemuda jangkung itu hanya diam, matanya mengikuti langkah gadis itu yang semakin menjauh. Bibirnya bergerak tanpa suara, hanya sebaris nama yang terucap lirih di hatinya.

“Muhi, nama yang begitu indah, seperti hujan yang menyimpan rahasia keperihan.”

Ia tersenyum kecil, lalu melangkah pergi, membiarkan hujan menjadi saksi atas pertemuan yang begitu singkat, namun penuh makna.

Badai Kepulangan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang