05

61 31 64
                                    

Suara yang selalu aku rindu
Nyatanya memang bukan untukku lagi.

Pagi ini Jovan dan Riski memutuskan untuk pulang kekampung halaman, memang mereka berdua hanya berniat menghantarkan Muhi saja dengan mengginap beberapa hari.

"Kalian beneran mau pulang? Terus aku sama siapa?." Keluh Muhi sembari memegang kedua lengan Jovan dan Riski.

"Pie to, kan niate wingi gor ngeterne awakmu." Ujar Jovan sembari melepaskan tangan Muhi, memang Jovan merasa berat meninggalkan Muhi sendirian tapi apalah daya ia juga mempunyai pekerjaan di desa. ( Gimana si, kan niatnya kemaren cuma nganterin lo doang).

"Gak papa Mui, kedepannya kalo gue sengang gue bakal lebih serinh ke sini kok." Sambung Riski kemudian memeluk Muhi dengan erat.

Sepeninggalan Jovan dan Riski, Muhi memilih kembali memasuki rumah tersebut. Yang kini terasa sunyi Muhi memang menyukai kesunyian namun tak ayal pemikirannya tak bisa lepas dari masa lalunya, kebetulan hari ini toko tempat ia berkerja libur jadilah Muhi yang tengah terkapar di spring bed over size tersebut.

"Kalo kaya gini gue harus lakuin apa ya?." Monolognya, kemudian
mulai mencari benda pipih yang sedari tadi tidak ia lihat.

"Aduh kemana sih, ah cape banget gue nyarinya." Keluhnya sekali lagi, dengan rasa kesal kemudian membalikkan bantal dan menemui benda pipih itu berada tepat di bantal yang sedari tadi ia tiduri.

"Oalah asyu, matane ki nengdi to sakjane?." Hardiknya pada diri sendiri setelah tau benda yang ia cari berada di samping tubuhnya.

Tak lama dari itu, ia mulai mengulir ponsel entah angin dari mana tangannya mulai menari manja pada sebuah kontak yang sudah lama tak ia hubungi, kemudian mengetikkan benerapa kalimat yang tak sama sekali ia kirim.

"Aku kangen karo awakmu, Onta. Wakmu ra kangen aku?." Monolognya setelah melihat profil pemuda itu yang berdampingan dengan wanita yang masih asing di penglihatannya. (Gue kangen sama lo, Onta. Lo gak kangen Gue?.) Setelah bergulat dengan pemikirannya perlahan Muhi memejamkan matanya, berharap ia terbangun dan melihat Syahrul berada di hadapannya dengan senyum merekahnya.

Hingga pukul 3 sore Muhi belum juga beranjak dari tempat tidur ia, matanya enggan membuka dan menyaksikan kerasnya kehidupan sekarang. Suara gemuruh kini mulai bermunculan, berhasil membuat sang empu terbangun dari tidur lelapnya.

"Ngelihe." Keluhnya pelan lalu beranjak dari tempat tidur memutuskan untuk mandi, setelahnya kembali lagi menuju dapur sekedar memasak mie, mungkin keberuntungan tak berpihak kepada Muhi setelah berburu mie di beberapa laci nyatanya mie hanya menjadi angan-angannya saja. (Lapernya.)

Kemudian dengan rasa malas yanh masih menghantui, Muhi memutuskan untuk membeli beberapa keperluan rumah yang sebetulnya sudah habis. Dengan cepat ia kembali memasuki kamar dan menganti baju dengan baju santainya.

Setelah merasa nyaman dengan apa yang ia kenakan, kemudian Muhi mulai keluar rumah tak lupa mengunci pintu dan menutup jendela. Dengan langkah semangat Muhi berjalan di iringi senandung kecil sembari melihat beberapa orang berlalu-lalang, di kota ini memang banyak warga yang memilih berjalan kaki terbilang lebih sehat dan nyaman.

Setelah berjalan sekitar 15 menit, kaki jenjang Muhi kini telah memasuki salah satu supermarket yang memang sedari awal ingin ia kunjungi. Kemudian mengambil troli memilih beberapa jenis sayuran rencananya sore ini ia akan memasak capcai, makanan yang sedari dulu ia gemari di lanjut memilih beberapa jenis mie dan makan ringan untuk sekedar menemani malamnya.

"Wih, ini enak ni." Molonognya sembari mengambil beberapa bungkus makanan pedas di hadapannya, saat tanggan tengah mengambil snack tersebut samar-sama ia mendengar suara yang tak asing berada tepat di belakangnya.

"Bee, aku mau snack itu." Ujar gadis yang mungkin tengah bersama pemuda di belakangnya.

"Jangan, Bee. Kamu ga liat snack itu keliatan pedes? Kamu mau sakit perut?." Balas pemuda tersebut, membuat Muhi memejamkan matanya pelan ingatannya berputar kebeberapa tahun yang lalu.

"Onta sayang, aku mau jajan yaaa." Pinta gadis itu dengan pupy eyesnya.

"Ambil aja Marmut kesayangan Onta, kamu boleh makan apa aja asal jangan pedes ya cantik."

Muhi terkekeh pelan menginggatnya, dengan tak sadar air matanya ikut menjatuhkan diri saat ia berbalik dan mendapati bahwa suara yang sedari tadi ia dengar memanglah suara milik pemuda yang selama ini ia rindui, pemuda yang selalu hadir di setiap mimpinya.

"M-muhi?." Panggil pemuda itu dengan suara bergetar, senyum yang sedari tadi ia tunjukkan kini beralih menjadi senyum yang tak kalah merekah.

"Bee? Kamu kenal gadis itu?." Tanya gadis di sampingnya setelah mengetahui ekspresi sang kekasih yang sudah sangat berbeda, senyumnya berbeda senyum kali ini terlihat sangat tulus.

"Mui? Mui inget Guekan?." Tanyanya sekali lagi, sembari memegang tangan Muhi. Dengan reflek Muhi menepis tangan tersebut, kemudian berjalan gontai meninggalkan keduanya layaknya seorang gadis yang tak mengenali pemuda itu.

"Bee, kamu kenapa sih?" Ujar gadis itu lagi merasa jengah dengan drama di hadapannya.

"Ah, gapapa kok Bee. Kamu mau snack apa tadi? Ambil aja gapapa kok, oh iya aku mau ke WC dulu ya Bee kamu tunggu di sini sebentar boleh sambil jajan kok." Pamit Syahrul pada gadis di sampingnya kemudian berjalan menyusul Muhi.

Dengan cepat Muhi berjalan menuju kasir berniat membayar dengan rasa khawatir dan kesal hingga menabrak punggung kekar di hadapannya, dengan cepat Muhi mendongak mendapati seorang pemuda yang menurutnya tak asing namun ia juga tidak mengenalnya.

"M-maaf, saya sedang terburu-buru." Ujar Muhi meminta maaf dengan tulus, yang hanya di angguki oleh pemuda di hadapannya itu.

"Lain kali hati-hati, kamu habis menangis?" Tanyanya, membuat Muhi refleks mengusap wajahnya yang tampak memerah.

"Ah, tadi saya kelilipan." Kekehnya pelan lalu keduanya kembali membayar.

Setelah beberapa kali berdebat, kini Syahrul memilih meninggalkan Muhi sendiri jujur saja Muhi belum mampu mengikhlaskan pemuda itu, namun mulutnya tak mampu berkata-kata ia masih terlalu terluka dengan perselingkuhan itu.

"Sayang, aku masi jelasin kejadian beberapa tahun yang lalu." Kekeh Syahrul, dengan mata yang sudah memerah.

"Bodoh, Lo kira Gue bodoh hah? Sudahlah lagia apa yang Lo harapkan dari hubungan sama gue yang sudah berakhir bertahun-tahun itu? Bukannya Lo udah ganti-ganti cewek ya?." Sarkas Muhi dengan rasa kesalnya, Muhi bukan tipe manusia yang apa-apa harus dengan nada tinggi tapi entahlah rasanya kali ini dia ingin selu menggunakan nada tinggi.

"Sayang, aku bisa jelasin. Kenapa kamu berkata seperti itu?."

"Bajingan, pergi gue gak butuh pemuda kaya Lo." Putus Muhi lalu beranjak pergi.

Tanggis Muhi tak berhenti sedari tadi, padahal sudah lebih dari 20 menit is berjalan namun rasanya sangatlah sebentar langkahnya semakin gontai menginggat ucapan-ucapan manis dari Syahrul yang sampai sekarang tak mampu ia lupakan.

"Gue harus apa? Gak Mungkinkan Gue lakuin hal bodoh itu lagi?." Monolognya sembari memasuki rumah yang kini ia tinggali.

Badai Kepulangan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang