3. Diskusi

228 33 3
                                    

“Terima kasih, Sakura, sudah memberiku tumpangan!” ucap Hinata ketika hendak turun dari Honda Jazz milik Sakura.

“Your welcome, Hinata. See you tomorrow,” balas Sakura seraya tersenyum bersahaja, lalu melajukan kendaraannya usai berpamitan dengan Hinata.

Hinata menghela napas lelah, menatap kosong lampu belakang mobil teman dekatnya yang makin menjauh. Dia berjalan lunglai menuju kediamannya seraya menenteng tas jinjing berisi camilan.

“Selamat malam, Nyonya.” Tim penjaga keamanan mansion menyapa Hinata dengan sopan ketika memasuki gerbang.

“Selamat malam semuanya. Saya membeli sedikit makanan ringan untuk kalian. Semoga kalian suka.” Hinata menyerahkan tas jinjing berisi penuh camilan kepada mereka seraya tersenyum ramah.

Para petugas keamanan itu menerimanya dengan senang hati sembari tak lupa mengucapkan terima kasih. Nyonya rumah mereka memang tidak pernah mengecewakan. Hinata hampir setiap hari memberikan camilan, membuat orang-orang tersebut merasa tersentuh dan selalu semangat bekerja.

“Terima kasih banyak, Nyonya!” ucap mereka serentak dengan gembira.

“Sama-sama.” Hinata beranjak menuju sepeda listriknya. Jarak dari gerbang mansion ke rumah utama cukup jauh, sekitar lima ratus meter, dan untuk sampai ke paviliunnya, dia harus mengelilingi sisi bangunan besar tersebut. Karena itulah Hinata membutuhkan kendaraan alternatif untuk sampai di paviliunnya ketika tidak membawa kendaraan sendiri.

Hinata menguap beberapa kali. Kali ini, dia memaksa tubuh dan otaknya bekerja lebih keras, bahkan sampai pulang sangat terlambat. Diskusi hari ini berjalan alot, karena ada beberapa kendala, padahal semua sudah memastikan tiada yang terlewat. Kasus yang mereka ambil tampaknya terlalu rumit dan pelik.

Sekarang jam menunjukkan pukul satu dini hari, sangat tidak masuk akal bagi seorang istri pulang selarut ini, sementara suaminya sibuk mencari nafkah seharian. “Istri macam apa yang pulang selarut ini?” bisik Hinata pada dirinya sendiri.

Karena kelelahan dan rasa kantuk yang berat, Hinata kehilangan fokus saat mengendarai sepedanya. Sepertinya itu karena dia terlalu mendalam memikirkan kasus yang menyangkut suami dan pamannya, sehingga otaknya tak bisa berhenti mencari berbagai kemungkinan dan alasan dibalik peristiwa nahas kala itu.

Akan tetapi ketika Hinata melihat ke depan, dia terkejut dan langsung membanting stang sepedanya dengan impulsif untuk menghindari tabrakan, hingga jatuh terjerembab dan menabrak bokus yang memagari taman di setiap sisi. 

"Aw!" Hinata meringis sambil mengusap kedua lengannya yang gatal akibat bergesekan dengan permukaan bokus yang kasar. Hari ini, dia benar-benar tidak beruntung, berakhir dengan mendekap tanaman yang kasar itu. Beruntung hanya lengannya yang tergores, kakinya terlindungi, sebab mengenakan celana jeans panjang.

“Kamu siapa?” Suara berat seorang pria menjamah indra pendengarannya.

Sejenak Hinata terkesiap, buru-buru berdiri, tetapi malah kembali membeku. Dia mengenali suara itu. Itu adalah suara suaminya, Naruto. 

Hinata mendongak dengan mata membulat. Dia bingung, terkejut, sekaligus senang. Namun, tak dapat dipungkiri, ada rasa gugup yang menghiasi perasaannya. "Om Jangkung?" kemamnya dengan manik mata membulat.

Naruto menjulang tinggi di hadapan Hinata, membuat gadis itu harus menengadah untuk melihat wajahnya. Perbandingan tinggi di antara mereka memang cukup mencolok. Hinata merasa sedikit kecewa dengan tinggi badannya. Dia berharap bisa lebih tinggi atau setidaknya seimbang dengan Naruto ketika sudah dewasa. “Faktor keturunan memang tidak bisa dianggap remeh,” keluhnya berbisik pada dirinya sendiri.

“Kamu siapa?” tanya Naruto sekali lagi. Kali ini dengan nada yang dingin dan tegas.

Hinata tersentak, lalu dengan terburu-buru memberikan kartu identitas padanya. Karena gugup, dia lupa kalau Naruto tidak bisa melihat.

“Ini apa?” tanya Naruto yang memegang kartu identitas Hinata dengan sarkastik.

"Ah, m–maaf. A–aku lupa," ujar Hinata dengan gugup, lalu mengambil kembali kartu identitasnya dengan tergesa-gesa. Dia mengepalkan kedua tangannya, mencari kekuatan di sana. "A–aku Hinata." Akhirnya dia bisa menjawab pertanyaan Naruto. Meskipun merasa sedikit lega, ada perasaan gelisah yang tak bisa dia abaikan. "Apakah aku akan dihukum karena melanggar perintahnya?" pikir Hinata cemas saat mengingat titah Naruto sepuluh tahun silam, untuk jangan menunjukan eksistensinya.

Hierarki (NaruHina) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang