11. Surat

151 20 3
                                    

Selesai berendam, suasana hati Hinata perlahan mulai membaik. Kini dia bisa berpikir dengan jernih. Hinata kembali memikirkan niatnya untuk mengirim surat cinta kepada Naruto. Setelah mempertimbangkan kemungkinannya, dia akhirnya membulatkan tekad untuk menulis lagi.

Sekarang dia tidak lagi menyebut-nyebut perasaannya. Hinata ingin fokus untuk menjalin komunikasi yang baik dengan Naruto. Dia memutuskan untuk memulai dengan menanyakan kabar suaminya, lalu mengakhiri suratnya dengan menceritakan kesehariannya yang tidak penting.

“Sepertinya ini sudah cukup,” gumam Hinata penuh keyakinan. Kemudian meraih telepon kabelnya, menghubungi kepala pelayan. “Shino, bisa ke kamarku sebentar?”

“Bisa, Nyonya. Saya segera ke sana.”

Hinata meminta Shino untuk memberikan suratnya kepada Naruto. Kepala pelayan itu tampak kebingungan—mengapa harus surat menyurat padahal mereka tinggal di rumah yang sama?—namun dia tidak berani bertanya. Shino pun mematuhi titah majikannya dengan gesit.

Shino mengetuk pintu kamar Naruto dengan sopan. "Permisi, Tuan. Ada surat dari nyonya," katanya sambil menyerahkan surat tersebut.

Naruto menerima surat itu dengan alis terangkat, penasaran. "Surat? Dari Hinata?" tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri.

"Ya, Tuan," jawab Shino sebelum beranjak pergi, meninggalkan Naruto yang masih memandang surat itu dengan campuran rasa ingin tahu dan sedikit kebingungan.

Naruto yang terkasih,

Hallo, Om! Bagaimana kabarmu? Apakah semuanya berjalan dengan baik? Aku selalu mendoakanmu. Berdoa agar Tuhan memudahkan semua urusanmu. (^ ω ^)

Oh iya, tadi aku mampir ke kafé. Tapi ada kejadian yang membuatku merasa tidak nyaman. Untungnya, ada teman yang membantu dan semuanya berakhir baik. Aku berharap bisa berbagi lebih banyak cerita denganmu suatu hari nanti. (ღ˘⌣˘ღ)

Dengan kasih,

Hinata

Naruto tersenyum tipis memandangi tulisan indah Hinata. Jangan lupakan emoji tanda bacanya. Benar-benar menggemaskan, pikir Naruto. Ini surat pertama dari istrinya sejak mereka tinggal bersama.

Pikirannya melayang mengenang pertemuan tak sengaja mereka beberapa malam yang lalu. Naruto masih tak menyangka Hinata sudah tumbuh lebih tinggi. Namun, dia tetap terlihat seperti anak kecil imut di matanya. Pandangan Naruto terhadap istrinya tidak akan pernah berubah.

Berkat suasana hatinya yang sedang baik, Naruto pun memutuskan untuk membalas surat dari sang istri.

Hallo, Hinata.

Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah menanyakan. Semoga kamu juga dalam keadaan baik.

Aku penasaran tentang kejadian di kafé, tapi kamu tahu aku tidak punya banyak waktu. Jadi, langsung saja katakan jika itu penting.

Belajarlah dengan baik dan tetap jaga kesehatan.

Salam,  

Naruto

Hinata terlonjak kegirangan ketika keesokan harinya mendapatkan balasan dari Naruto. Dia benar-benar tak menduga suratnya akan dibalas. Meski isi suratnya biasa saja, tetapi di mata Hinata, itu sudah lebih dari cukup. Syukurlah, berkat secarik kertas penuh makna itu, Hinata dapat memulai hari dengan penuh keceriaan.

“Benarkah ini dari suamiku?” tanya Hinata pada Shino dengan mata berbinar-binar.

“Betul, Nyonya. Pagi tadi, ketika saya memasuki kamar untuk membangunkan Tuan, beliau baru saja bangun tidur. Saat melihat saya, beliau langsung menunjuk surat yang ada di meja kerjanya dan berkata, 'Berikan surat itu kepada Nyonya!' Jadi, sepertinya Tuan langsung menulis surat balasannya semalam,” jelas Shino dengan bersemangat, merasa senang bisa menyampaikan kabar baik kepada Hinata. Dia berharap Hinata puas mendengar ceritanya.

“Apakah ini artinya aku masih memiliki harapan?” Hinata menatap Shino dengan antusias, lalu kembali melompat-lompat kegirangan.

Shino tidak mengerti maksud dari pertanyaan penuh semangat Hinata, tetapi dia memilih mengangguk, demi menyenangkannya.

Hierarki (NaruHina) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang