17. Buta

172 17 0
                                    

“Bukankah kita sudah pernah membahas ini?” Naruto menatap kakeknya dengan tatapan muak. Dia sudah bosan dengan topik pembicaraan ini. Beberapa kali dia sudah menjelaskan bahwa dia tidak mau melakukan itu pada Hinata.

Hiruzen merasa tertekan, menghela napas panjang. Dia memejamkan matanya, tampak lelah. “Naruto, ini semua aku lakukan demi kebaikanmu. Kamu ….”

“Seperti yang pernah aku katakan, aku akan memberimu cucu,” potong Naruto, membuat mata Hiruzen berbinar penuh harap.

Hiruzen tersenyum makin lebar. “Akhirnya kamu memahamiku. Aku ….”

“Tapi ….” Dia kembali memotong, lalu menatap Hiruzen dengan senyuman dingin. “Bukan dari Hinata.” Naruto melipat tangannya, menatap angkuh sang kakek yang seketika wajahnya memerah dikuasai kemarahan. “Aku akan memberikanmu cucu sebanyak yang kamu inginkan, tapi dari perempuan lain.”

Hiruzen terkejut dan kesal mendengar ucapan Naruto yang dianggap kurang ajar. Dia menatap cucunya penuh amarah. “Tidak! Aku tidak akan mau mengakui anak harammu sebagai cucuku! Kamu harus memiliki anak dari istrimu! Bukan dari jalang!”

Naruto memejamkan matanya, menahan kesombongan. “Kalau begitu, aku akan menceraikan Hinata dan menikahi wanita yang kuinginkan. Bagaimana?”

“Jangan meremehkanku!” bentak Hiruzen penuh emosi. “Jangan harap aku masih menganggapmu sebagai cucuku setelah kamu menikahi wanita lain! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah memaafkanmu bila berani menceraikan Hinata!” teriaknya semakin kencang.

Naruto menghela napas berat, menahan kesalnya, lalu melanjutkan dengan lebih tegas, "Aku akan segera menceraikan Hinata. Aku tidak bisa melanjutkan semua ini lebih lama lagi. Ini tidak adil untuknya."

“Naruto!” sentak Hiruzen murka. “Dari mana kamu belajar menjadi pembangkang? Apakah kamu sudah merasa hebat, sehingga berani menentangku?”

Teriakan Hiruzen masih menggema di telinga Naruto, membuatnya pusing dan lelah. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menenangkan diri. Naruto menyandarkan kepalanya yang berdenyut ke sandaran jok mobil, lantas memejamkan mata.

Ini pertama kalinya Naruto dan kakeknya bertengkar hebat. Dia sangat menyayangkan semua ini harus terjadi. Naruto tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan kepada kakeknya bahwa dia bukan pasangan yang tepat untuk Hinata, begitu pun sebaliknya.

Sementara itu, Hinata yang duduk di sisi Naruto hanya diam, memperhatikan pria itu menghela napas panjang berkali-kali. Sebenarnya, dia sempat mendengar teriakan Hiruzen saat keluar dari lift menuju kamar Naruto, tadi. Karena itu pula dia mengurungkan niatnya. Ketika hendak menguping lebih banyak lagi, Naruto mendadak keluar dari ruangan itu dan menarik tangan Hinata untuk pulang.

Saat Hinata sedang memandangi suaminya, tiba-tiba pria tersebut menoleh. Mungkin karena merasakan tatapan Hinata yang intens. Hinata pun berpaling, berdeham salah tingkah.

“Bagaimana sekolahmu?” tanya Naruto. Dia ingin mengajak Hinata mengobrol, berharap itu dapat membuatnya melupakan kekesalannya.

“Baik.” Hinata menoleh, lalu mengangguk. Dia spontan menjawab seperti itu, sebab terlalu tertekan berada dari jarak sedekat ini.

Menatap Hinata, membuat Naruto mengingat sesuatu. Masalah di kampus. Itu sudah dia selesaikan dengan baik. Dua orang pengganggu, telah Naruto singkirkan, berharap dengan begitu, Hinata bisa lebih fokus dan nyaman lagi belajar.

Hinata lantas membeku kala menoleh mendapati tatapan lurus Naruto. Anehnya, dia merasa tatapan itu fokus. Hinata yang keheranan pun melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Naruto. Dia ingin memastikan, Naruto bisa melihat atau tidak. Namun, mata pria itu sama sekali tidak terganggu. “Sepertinya aku salah lihat,” batinnya.

Hierarki (NaruHina) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang