4. Luka

234 32 9
                                    

“Hinata?” Kini giliran Naruto yang terbelalak. Dia tak menyangka gadis imut berambut pendek di depannya ini adalah istrinya. Naruto tak percaya kalau Hinata sudah tumbuh dewasa. Terakhir dia melihatnya adalah sepuluh tahun yang lalu. Setelah itu, dia tak pernah lagi mencari tahu bagaimana pertumbuhannya.

Naruto hanya rutin menanyakan keadaan Hinata melalui kepala pelayan. Dia tidak pernah mencari tahu sendiri atau menemuinya. Naruto selalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tidak punya waktu untuk hal-hal sepele seperti memeriksa kondisi Hinata secara langsung.

Melihat diamnya Naruto, jantung Hinata berdetak kian kencang. Dia yang gugup dan bingung pun memberanikan diri berkata, “Maaf, aku tidak sengaja. Aku ….”

Naruto yang merasa terganggu oleh perkataan gadis itu pun menjeling, menatap sinis Hinata yang tertunduk, memotong ucapannya. “Tidak sengaja? Kamu bisa membunuh seseorang dengan cara berkendara seperti itu.”

Hinata berdiri dengan cemas. “Aku benar-benar minta maaf. Aku sangat lelah dan kehilangan fokus,” kelitnya.

Naruto melirik Hinata skeptis, membalasnya dengan manipulatif. "Lelah? Kamu pikir lelah memberimu alasan untuk ceroboh? Kamu bukan satu-satunya yang lelah di sini.”

Hinata tersentak dan bingung, tetapi berusaha tenang. "Aku mengerti. Aku akan lebih berhati-hati,” 

Naruto menghela napas dengan frustrasi. "Baiklah. Sekarang pergilah."

Hinata meraih sepeda listriknya, bersiap untuk pergi, tetapi dia lantas mengaduh kala sikut tangannya menyengatkan nyeri. Hinata mengecek lukanya. Dia meringis kesakitan saat mendapati luka lecet di salah satu sikutnya.

“Dan pastikan semua luka-lukamu diobati. Saya tidak mau ada masalah kesehatan di rumah ini,” ketus Naruto saat melihat luka di tubuh Hinata.

Sesampainya di paviliun tempat tinggalnya, Hinata merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Dia merasa lelah, dan suasana hatinya makin buruk setelah mendapat teguran dari Naruto. Namun, dia berusaha tetap tegar dan mencari sisi positif dari situasi tersebut. 

Benar! Ini pertama kalinya dia bertatap muka langsung dengan Naruto setelah selama ini hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Meskipun pria itu selalu memperlihatkan sisi dingin dan sarkastik, Hinata tidak kehilangan ketertarikan sama sekali. Gadis itu sudah terlanjur menyukainya.

“Om Jangkung ganteng banget,” jerit Hinata tertahan sambil membekap mulutnya dengan bantal. Pria dewasa itu benar-benar tipenya, terutama karena tingginya. Dia berharap bisa memiliki keturunan seperti Naruto dan menghentikan garis pendek dalam keluarganya. Hinata bermimpi untuk memperbaiki keturunan agar tidak ada lagi istilah pendek atau kate yang menempel pada anak cucu keluarga Hyuuga.

Saat tengah asyik berkhayal, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarnya, membuyarkan imajinasinya. Hinata membuka pintu dan mendapati kepala pelayan bersama dua pelayan lainnya. "Ada apa?" tanyanya bingung melihat kedatangan mereka.

"Tuan mengirim kami untuk memeriksa keadaan Anda, Nyonya. Beliau memberi tahu saya bahwa Anda terluka setelah jatuh dari sepeda. Tolong izinkan saya dan kedua pelayan saya untuk merawat luka Anda," tutur Shino sambil membungkuk sopan.

“Ya Tuhan, suamiku perhatian sekali! Aku jadi ingin memeluknya,” batin Hinata sambil tersenyum lebar. Naruto terus membuatnya merasa spesial, dan perasaannya semakin kuat. “Dia tampak dingin dan tak acuh di luar, tapi ternyata dia mencemaskanku. Apa yang harus aku lakukan?” pikir Hinata, penuh semangat. Naruto membuat Hinata semakin terpesona.

“Nyonya?” tegur Shino kala melihat Hinata malah melamun sambil senyam senyum sendiri.

“Ah, iya. Maaf, saya tadi melamun. Silakan masuk.” Hinata membuka pintu kamarnya lebih lebar, memberi ruang bagi Shino dan kedua pelayan untuk masuk.

Hierarki (NaruHina) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang