14. Terganggu

146 16 3
                                    

"Tuan, nyonya tadi menangis di kelas. Guru di sekolah kesulitan menenangkannya, tetapi akhirnya nyonya berhenti menangis dengan sendirinya setelah bonekanya ditemukan," lapor Shino, membuat Naruto memijat dahi, jengah.

"Jangan laporkan hal-hal seperti itu padaku. Cukup tentang bagaimana kesehatannya dan apakah dia makan dengan baik atau tidak. Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan cerita keseharian sepele seperti itu." Naruto menghela napas lesu.

Semenjak saat itu, Shino berhenti memberikan laporan detail tentang keseharian Hinata. Peristiwa di kampus hari ini pun tidak dia laporkan, karena mematuhi titah sang tuan. Namun, Shino sudah menugaskan beberapa orang untuk mencari tahu kebenarannya.

Naruto yang terkasih,

Hallo, Om. Bagaimana kabarmu hari ini? Apakah semuanya berjalan dengan baik?

(: • ω • :)

Dengan kasih,

Hinata

Hinata menyuruh Shino untuk menyampaikan suratnya kepada Naruto. Sebenarnya, suasana hati Hinata sedang kurang baik. Dia ingin mengadu dan menangis di pelukan Naruto. Namun, urung dia lakukan, karena tidak mau dianggap kekanakan.

Saat tengah merenung, tiba-tiba layar ponselnya menyala. Pesan dari Kabuto telah masuk.

Kabuto: Bagaimana perasaanmu? Apa sekarang sudah lebih tenang.

Hinata menghela napas lesu membaca pesan singkat dari Kabuto. Tadi siang, dia bertukar kontak dengannya. Kabuto sudah menunjukkan kebaikannya, dan Hinata merasa tidak punya alasan untuk menolak permintaannya—memberikan nomor ponselnya—meski sedikit ragu.

Hinata: Iya. Terima kasih perhatiannya. Aku baik-baik saja.

Hinata menghempaskan tubuhnya ke ranjang, melamun menatap langit-langit kamar. Hari ini benar-benar menguras emosinya. Hinata masih belum bisa melupakan rasa malunya terhadap teman-teman di kelas.

Layar ponsel yang menyala kembali menarik atensinya. Hinata memeriksa sejenak—melihat nama kontak yang mengirimkan pesan—tetapi segera mengabaikannya. Andai saja pesan itu dari Naruto, dia merasa mungkin akan langsung bersemangat dan melupakan kesedihannya.

Hinata berguling, menelungkup. "Om Jangkung," rengeknya, lalu membenamkan wajahnya ke bantal. Dia benar-benar merasa buruk sekarang. Hinata sedih dan membutuhkan dukungan dari satu-satunya pria yang dicintai: Naruto. Namun, tampaknya itu mustahil. Kenyataan memilukan ini membuat Hinata semakin bersedih.

Jangankan perhatian, Naruto justru berniat menceraikannya. Sepertinya pria itu tidak sabar ingin segera menyingkirkan Hinata dari hidupnya. “Mengesalkan,” ketus Hinata yang terisak-isak.

Di saat-saat terpuruk seperti ini, dia selalu teringat keluarganya yang sudah tiada. Ayah, ibu, kakek, dan neneknya—Hinata merindukan mereka semua. Dia merasa sendiri, tanpa teman untuk berkeluh kesah. “Aku merindukan kalian,” tuturnya dengan air mata berlinangan.

Sementara di tempat lain, Naruto tersenyum simpul menerima surat dari Hinata yang dibawa oleh Shino. Dia segera membukanya dan membaca pesan pendek di dalamnya, tersenyum sendiri. Meskipun tampak kekanakan, dia tidak bisa menolaknya. Selama ini membuat Hinata terhibur, dia akan selalu membalas suratnya. Melihat surat kedua dari Hinata, tampaknya gadis itu cukup puas dengan balasannya yang kemarin.

Naruto menyiapkan kertas untuk menulis balasan suratnya. Namun, dia seketika berhenti dan mendongak pada Shino yang berdiri di depan meja kerjanya. Naruto yang merasa terganggu, menatapnya tajam. “Apakah masih ada yang ingin kamu sampaikan?”

Shino ragu-ragu, tetapi kemudian menyampaikan apa yang mengganjal di hatinya kepada sang junjungan. “Ada yang mengganggu nyonya, Tuan.”

“Apa?” Naruto tidak suka mendengar kabar tersebut.

“Hari ini, website resmi fakultas hukum diretas dan semua fotonya diganti dengan foto-foto nyonya. Sekarang, nyonya menjadi bahan pembicaraan kurang baik di fakultas,” jelas Shino dengan ekspresi penuh kekhawatiran. “Nyonya terlihat sangat sedih dan tertekan.” Dia membukuk dalam. “Tolong hibur nyonya dan bantu dia merasa lebih baik, Tuan.”

Shino sangat berharap tuannya itu mau ke paviliun untuk menghibur Hinata. Sesederhana itu. Pria paruh baya yang sangat setia tersebut selalu teringat senyuman dan antusiasme Hinata ketika mendengar kabar tentang Naruto. Hanya Naruto satu-satunya orang yang bisa membuat Hinata merasa lebih baik.

“Apa pelakunya sudah tertangkap?” Naruto menatap Shino dengan serius. Meskipun biasanya dia tidak menunjukkan empati secara terbuka, kali ini dia merasa terganggu.

“Nyonya melaporkan nama terduga pelaku pada pihak universitas. Tapi itu belum pasti.”

Mendengar informasi tambahan dari Shino, Naruto lantas mengangguk, mengisyaratkan bahwa dia akan memperhatikan masalah ini dan melakukan apa pun yang diperlukan untuk memperbaiki keadaan.

Hierarki (NaruHina) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang