8. Dewasa

273 21 0
                                    

Hinata menatap kedua pria muda itu penuh kekaguman. Mereka benar-benar menarik perhatiannya, terutama karena tinggi badan kedua pria muda itu yang jauh di atas ayahnya. “Keren!” ucap Hinata spontan, membuat Naruto dan Konohamaru meliriknya.

“Hinata?” Konohamaru menelengkan kepalanya, mencoba mengingat-ingat. Sementara Naruto hanya menatap dengan senyuman tipis di bibirnya.

“Iya, benar. Saya Hinata. Senang berjumpa dengan Anda,” ucap Hinata dengan sopan.

Konohamaru, Hiashi, dan Hiruzen tergemap kala mendapati kesopanan formal Hinata, tetapi tawa mereka segera meledak karena kesopanan itu terkesan sangat dewasa dan anggun untuk anak seusianya, membuat situasi menjadi lucu dan menggemaskan. Sementara itu, Naruto hanya mengulum senyuman tipis. Namun, Hinata tidak merasa tersinggung. Seperti janjinya kepada sang ayah, dia akan berusaha bersikap baik agar ayahnya tidak mendapat masalah. Hinata menyunggingkan senyuman manis penuh percaya diri.

“Astaga, Hinata, kamu sopan sekali,” puji Konohamaru menatap gadis kecil di depannya dengan kagum. Anak sekecil itu mampu menjaga sikap dan berbicara layaknya wanita bangsawan yang mendapatkan pendidikan etiket ketat, sungguh luar biasa. Konohamaru jadi penasaran bagaimana cara Hiashi mendidik Hinata.

“Terima kasih atas pujiannya. Anda juga sangat mengagumkan.” Hinata membalas pujian itu, yang kembali memantik tawa semua orang dewasa di sana.

Setelah tawa mereda, Hiruzen mengajak mereka ke meja makan. “Sudah waktunya makan siang. Ayo kita masuk!” Mereka semua berjalan ke arah belakang–dapur terbuka–di mana terdapat penanggah, beberapa kursi, dan meja yang diatur dengan rapi. Angin sepoi-sepoi yang berhembus membawa aroma bunga dan dedaunan yang segar.

Mereka menikmati makan siang bersama di dapur terbuka, di bawah sinar matahari yang hangat, sambil saling bertukar cerita dan tawa. Hidangan lezat yang disajikan membuat suasana semakin akrab dan penuh kehangatan. Hinata, Hiashi, Hiruzen, Konohamaru, dan Naruto merasa seperti keluarga besar yang tak terpisahkan.

Selesai makan, Konohamaru, Hiruzen, dan Hiashi bermain golf di taman samping. Di sana terdapat lapangan golf berukuran sedang yang cocok untuk bermain sambil bersantai. Sementara itu, Hinata bermain di dalam rumah. Gadis kecil itu meniti tangga menuju lantai dua, ingin bermain game komputer di ruangan yang biasa dia kunjungi setiap kali berkunjung ke rumah tersebut.

“Om, sedang apa?” tanya Hinata ketika membuka pintu. Dia melihat Naruto tengah mengotak-atik komputer yang biasa dia mainkan.

“Bukan apa-apa.” Naruto tak mengacuhkan Hinata. Dia fokus memperbaiki kekacauan pada komputernya. 

Naruto sedang memperbaiki komputernya yang bermasalah. Semua komponen, dari CPU hingga GPU, menunjukkan tanda-tanda overheat dan keausan. Hard drive juga mulai menunjukkan tanda-tanda kegagalan, memperlambat kinerja keseluruhan sistem. Naruto curiga bahwa selama dirinya tinggal di luar negeri, ada yang menggunakan komputernya untuk bermain game. Yang menjadi pertanyaannya, siapa?

Naruto melirik Hinata penuh prasangka. “Apakah kamu sering bermain game di sini?”

Hinata mengangguk polos. “Iya. Kakek Hiruzen bilang, aku boleh menggunakan komputer ini untuk bermain game.”

“Pantas saja.” Naruto memijat dahinya seraya menghela napas kasar. Dia menatap layar komputer yang menunjukkan suhu komponen yang tinggi dan kecepatan kipas yang maksimal. “Sebenarnya komputer ini bukan untuk bermain game. Ini .…” Naruto mengurungkan niatnya untuk menjelaskan saat melihat sorot mata lugu Hinata. “Percuma saja. Dia hanya anak kecil, tidak mengerti apa-apa,” pikirnya.

“Om, mau ke mana?” Hinata menengadah, menatap Naruto yang beranjak dari duduk.

Kening Naruto bertaut kala menyadari Hinata yang tidak lagi berbicara dengan formal seperti tadi. "Dasar plin plan," batinnya. Dia kurang menyukai anak kecil yang banyak bertanya itu. Terlalu cerewet, anggapnya. “Kenapa kamu ingin tahu?” Dia malah balik bertanya dengan sinis.

Hinata tersenyum malu-malu. “Emm … begini, apa Om, mau menemaniku bermain?”

Naruto yang jengah pun menatap Hinata remeh. “Bermain? Aku tidak suka permainan anak kecil.”

“Kalau begitu, aku tidak keberatan melakukan permainan orang dewasa,” kata Hinata penuh percaya diri. Dia agak kesal ketika Naruto menyebut “permainan anak kecil.” Memangnya apa yang salah dengan permainan anak kecil?

“Apa?” Naruto jengkel.

“Anggap saja aku wanita dewasa. Jadi, permainan seperti apa yang biasa dilakukan wanita dewasa dan pria dewasa?”

Naruto menatap kecil Hinata. “Apa kamu sungguh ingin tahu permainan yang dilakukan wanita dan pria dewasa?”

“Tentu saja.” Hinata memanggut sembari tersenyum lebar.

Naruto memindai tinggi badan Hinata, lalu iseng menyeletuk, “Tunggu sepuluh tahun lagi. Setelah tinggi kita sama. Aku akan mengajarimu.” 

Hinata kebingungan. Dia tak mengerti perkataan Naruto sama sekali. “Kenapa harus menunggu sepuluh tahun lagi?” gumamnya seraya menatap seringai mencurigakan di wajah Naruto.

Hierarki (NaruHina) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang