6. Pendek

226 26 3
                                    

Setelah kepergian Naruto, Hinata mondar-mandir dengan gelisah di kamarnya. Pikiran gadis itu penuh dengan kata-kata yang baru saja diucapkan suaminya. “Kenapa dia ingin menceraikanku? Padahal aku hidup sesuai perintahnya. Aku bersembunyi, tenang, dan tidak pernah mengeluh. Apakah karena pertemuan tidak sengaja malam itu? Tapi itu kecelakaan. Itu bukan keinginanku,” gumam Hinata dengan cemas kentara menyelimuti air mukanya.

Hinata pikir, jika dirinya hidup dengan tenang dan tidak banyak mengeluh, Naruto akan menyukainya, lalu menerimanya. Namun, kenyataan berkata lain. “Ini tidak adil!” Hinata mengusap wajahnya dengan gelisah, lalu kembali mondar-mandir. Hanya membayangkan perceraian dengan Naruto saja, sudah menghancurkan hatinya. Bagaimana jika itu sampai terjadi?

"Tidak," kemam Hinata pada dirinya sendiri. Dia tidak ingin bercerai. Dia ingin terus bersama Naruto, selamanya. Tidak peduli meskipun pria buta itu tidak pernah menganggapnya ada. “Iya, aku harus memperjuangkan kehidupan pernikahanku. Aku tidak boleh menyerah sebelum mencoba.” Dia mengepalkan tangannya sendiri, bertekad.

Hinata suka tinggal di tempat ini. Semua orang di mansion ini ramah dan baik padanya. Kehidupan yang dulunya sepi hanya bersama ayahnya, kini terasa penuh dengan kehangatan. Dia tidak bisa membayangkan hidup sendirian lagi dan kehilangan keluarga yang sudah dia temukan di sini. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya patah.

Naruto, Hinata sangat menyukainya yang tinggi dan besar. Naruto tidak akan mudah sakit seperti ayahnya dan dia yakin bahwa pria itu akan berumur panjang. Hinata suka orang yang kuat, karena dengan itu, manusia tidak akan mudah mati. Hinata punya pengalaman traumatis dengan kematian.

Hinata bertekad untuk membuat Naruto jatuh cinta padanya. Dia sadar bahwa penampilannya saja tidak akan cukup untuk memikat pria itu. Namun, dia yakin bahwa sikap dan perhatian yang tulus bisa mencapai hatinya. Setelah memikirkannya semalaman, Hinata mendapatkan ide. Dia akan menulis surat cinta untuk Naruto.

Tanpa membuang waktu, Hinata lekas mengambil kertas dan pena. Dia duduk di mejanya, menatap kosong kertas putih di depannya, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Dia harus bisa mengekspresikan perasaannya dengan jujur dan tulus. Setiap kata yang ditulisnya adalah cerminan dari hatinya yang penuh cinta dan harapan. Hinata pun mulai menulis dengan tekun. 

Beberapa baris kalimat kemudian, Hinata menatap geli pada tulisannya yang belum selesai. Kalimat-kalimatnya terasa terlalu dramatis dan berlebihan, lebih mirip adegan dalam film romansa picisan. “Ih, kok jadi begini?” gumamnya. Dia pun meremas kertas itu, lalu membuangnya ke tempat sampah. Kemudian, Hinata memulai kembali dengan harapan yang berikutnya akan lebih bagus. Namun, kejadian serupa terus berulang, membuat Hinata kesal.

“Apa-apaan ini? Apa kamu sudah gila? Naruto akan menganggapmu gadis naif bila terlalu blak-blakan mengungkapkan isi hatimu seperti ini,” protesnya pada diri sendiri. Surat itu pun kembali berakhir di tempat sampah, lalu Hinata membuka Go*gle, mencari referensi surat cinta sederhana yang tidak berlebihan.

Hinata mencoba mengambil kata-kata bagus dan kalimat menyentuh dari surat-surat itu, lalu menggabungkannya. Setelah menulis lima kalimat, dia kembali membacanya. “Kok, jadi seperti surat di film romansa yang sad ending, sih? Aku kan, ingin mencoba mempertahankan rumah tanggaku, bukan ingin meninggalkannya supaya hidup bahagia. Argh!” Hinata menghempaskan punggung ke sandaran sofa seraya memijat kepalanya yang pusing diajak berpikir keras. Dia putus asa.

Hinata frustrasi, kesal, sehingga ingin menangis menjerit-jerit. “Kenapa aku sepayah ini?” keluhnya bercampur kehilangan harapan. Hinata hanya ingin membuat surat yang mau tidak mau, Naruto harus membalasnya atau kalau bisa, pria itu langsung berlari menemuinya. “Naruto buta, Hinata. Mana bisa dia berlari ke arahmu?” Dia menghela napas berat, penuh rasa tertekan. Perceraian, Hinata sama sekali tidak memikirkan ini. 

Dia tidak mengerti pikiran Naruto. Kenapa pria itu tiba-tiba ingin menceraikannya? Apakah karena tubuh Hinata yang seperti flakon*? Tapi itu semua bukan keinginannya. Hinata sudah melakukan segala cara untuk menambah tinggi badannya. Namun, tiada yang berhasil, karena ternyata gennya lebih keras dari usahanya.

“Memangnya kenapa dengan pendek? Ariana, Billie, dan Camila saja cantik dan menggemaskan dengan tubuh pendek. 153 cm itu imut, kan? Apakah Naruto tidak bisa melihatnya?” Hinata menghela napas frustrasi, “Tidak! Naruto penyandang tunanetra, Hinata. Tentu saja dia tidak akan mengerti pesona gadis-gadis menggemaskan sepertimu.” Dia meremas kepalanya yang terasa berdenyut seraya ingin menangis.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 

Flakon : Botol kecil yang biasa digunakan untuk wadah minyak wangi dan minyak esensial.

Hierarki (NaruHina) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang