15. Usia

154 19 0
                                    

Keesokan harinya, Hinata mendapat kabar bahwa Hiruzen—kakeknya Naruto—jatuh sakit. Kabar itu membuat hatinya resah, terutama karena Hiruzen adalah sosok yang sangat dia sayangi dan sudah Hinata anggap seperti kakeknya sendiri.

Ketika sopir yang dikirim tiba di mansion, Hinata sudah bersiap-siap dengan perasaan campur aduk. Hiruzen ingin bertemu dengannya, dan Hinata tahu bahwa pertemuan ini sangat penting.

Sesampainya di rumah besar keluarga Uzumaki, Hinata disambut Teuchi—kepala pelayan kediaman Uzumaki—dengan ramah. “Selamat datang, Nyonya Muda. Mari ikuti saya.” Dia membungkuk, lalu berjalan mengiringi langkah Hinata, menuju kamar tidur Hiruzen.

Walau dalam kondisi sakit, senyum hangat Hiruzen tetap terlihat, menyambut kedatangan Hinata. “Selamat datang, Nak. Bagaimana kabarmu?” sapanya.

“Kakek!” Hinata segera memeluknya erat. Kekhawatiran tampak jelas di wajahnya. Hinata benar-benar takut kehilangan orang yang dia sayangi lagi. Mengingat usia Hiruzen yang sudah satu abad, setiap kabar buruk tentang kesehatannya selalu membuat Hinata cemas dan berpikir yang macam-macam.

Hiruzen terkekeh mendapati sikap manja cucu menantunya. "Sepertinya kamu sangat mengkhawatirkanku. Tenanglah, Nak. Ini hanya flu biasa. Flu seperti ini tidak akan membunuhku," kelakarnya mencoba menghibur Hinata.

“Kakek,” tegur Hinata sambil mengusap basah yang menggenang di sudut matanya. Dia melepaskan pelukannya perlahan, menatap Hiruzen dengan cemberut. “Jangan berbicara seperti itu.”

Sesaat Hiruzen kembali tergelak, lalu memegang kedua tangan Hinata. “Jadi, berapa umurmu sekarang?” Dia menatap Hinata sambil tersenyum dengan kebijaksanaan usia.

“Tahun ini 20 tahun,” jawab Hinata setelah berpikir sejenak.

Seketika senyuman Hiruzen melebar. “Usia yang pas untuk memiliki keturunan,” tanggapnya.

“Benarkah?” Mata Hinata berbinar-binar dengan gembira. 

Hiruzen mengangguk. “Hmm hmm. Almarhum nenekmu dulu juga berusia 20 tahun saat mengandung anak pertama kami.”

Wajah Hinata lantas berseri-seri. Dia menyentuh perutnya sendiri, sementara pikirannya melayang jauh. Hinata tidak sabar ingin segera mengandung anak dari Naruto. Jika anaknya nanti laki-laki, dia pasti akan tampan seperti ayahnya. Kalau anaknya perempuan, pasti akan cantik juga seperti ayahnya. Namun, yang paling membuat Hinata tersipu adalah membayangkan dirinya dan Naruto tidur bersama. Bagaimana wajah Naruto ketika penuh gairah? Hinata membayangkan wajah pria itu memerah sambil tersenyum manis padanya.

Akan tetapi, angan-angan itu seketika hancur berkeping-keping kala teringat rencana Naruto yang ingin segera menceraikannya. Raut wajah Hinata yang semula diselimuti kegembiraan, kini berubah murung. Kebahagiaan di wajahnya memudar seolah tersedot dari tubuhnya.

"Ada apa?" tanya Hiruzen heran melihat perubahan ekspresi Hinata. Dia tidak mengerti, apakah mungkin gadis itu ingin mengatakan bahwa dirinya belum siap memberikan Naruto keturunan?

Hinata memandang wajah Hiruzen sejenak, lalu menggelengkan kepala. Dia ingin memberi tahu sang kakek tentang rencana Naruto, tetapi tidak berani, mengingat kondisi kesehatan Hiruzen yang sedang menurun. Hinata khawatir hal itu akan menambah beban pikiran kakeknya dan membuat sakit Hiruzen makin parah. "Tidak ada," jawabnya seraya tersenyum lembut.

Hiruzen membelai kepala Hinata dengan penuh kasih sayang. Dia benar-benar menyukainya. Hinata adalah pasangan yang sangat cocok untuk Naruto. Dia keturunan dari keluarga jenius. Hiruzen tidak sabar ingin segera melihat cicitnya kelak. Dia yakin, Naruto dan Hinata akan menghasilkan generasi Uzumaki yang hebat, yang akan memajukan Uzumaki Dynamics lebih jauh dari sekarang.

Terdengar ketukan di pintu, lalu suara Teuchi. “Tuan Muda Konohamaru ingin menemui Anda, Master.”

Hiruzen meraih remote kecil di dekat kepala ranjang, lalu menekan sebuah tombol. Tak lama, kunci pintu kamar terbuka, dan Konohamaru masuk.

“Kakek, bagai ...” Konohamaru terhenti ketika melihat Hinata duduk di bibir ranjang kakeknya. Dia pun melangkah ke sisi lain tempat tidur, mendekati Hiruzen. “Bagaimana keadaan Kakek sekarang? Aku langsung ke sini saat mendengar kabar Kakek jatuh di kamar mandi,” jelasnya dengan air muka penuh kekhawatiran.

Hiruzen terkekeh. “Kakek tidak apa-apa. Itu hanya kecelakaan kecil. Teuchi saja yang terlalu berlebihan menanggapinya.”

“Itu bukan kecelakaan kecil, Kek. Kakek itu sudah,” memijat kepalanya, “tolong lain kali lebih berhati-hati. Kalau perlu, jangan ke kamar mandi sendiri. Minta pelayan untuk menemani Kakek. Mengerti?” Konohamaru mengurungkan niatnya untuk mengingatkan kakeknya bahwa dia sudah tua, karena tidak ingin menyinggung perasaannya.

“Ck! Kamu memperlakukan Kakek seperti kakekmu ini sudah sangat tua,” gerutu Hiruzen yang tidak terima diperlakukan seperti lansia oleh cucunya.

“Apakah ada manusia di dunia ini yang menganggap umur 103 tahun masih muda?” Konohamaru balik bertanya, tak mau kalah. “Kek, Kakek itu sudah saatnya mawas diri. Kakek sudah tidak lagi ….”

“Ssshhh! Sudah! Jangan bicara lagi! Kamu itu selalu saja membawa-bawa umur. Memangnya apa salahnya menjadi tua? Yang terpenting itu bukan usianya, tapi pola pikir. Percuma saja jika umur masih muda tapi pola pikir terbelakang,” protes Hiruzen, tidak suka dengan arah pembicaraan cucunya yang selalu menyinggung usianya.

Perdebatan kecil itu membuat Hinata mengulum senyum. Hiruzen memang tidak suka bila ada yang membahas tentang usianya, seolah dirinya menolak tua. Dia selalu percaya bahwa semangat dan pola pikir yang positif jauh lebih penting daripada angka usia. 


Hierarki (NaruHina) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang